Pages

Sunday, December 19, 2010

Cerita Jadul, ^^b

Duduk-duduk di kantor Jurusan siang itu sambil melihat tingkah polah adik-adik tingkat rupanya sanggup membawa ingatan saya ke masa lalu, tiga tahun lalu. Jadwal kuliah yang tak lagi sepadat dulu dan mulai terkonsentrasi dengan keminatan masing-masing membuat angkatan saya sudah jarang menampakkan diri di kantor Jurusan. Sekalipun muncul, selalu tampak sibuk menyalin buku, skripsi, mencari Pak Helli, mengurus lapora PLA atau bimbingan. Ya, hal itu kadang membuat saya sadar kalau saya memang mahasiswa tingkat akhir. Namun sebagai mahasiswa tingkat akhir, rasanya saya masih begini. Masih kuliah, nongkrong-nongkrong sembari mengobrol di Jurusan, masih ikut rapat-rapat, yang membuat intensitas penampakkan saya di Jurusan sama seperti beberapa tahun lalu. Seperti hari ini. Sembari menunggu kawan-kawan (kebanyakan adik tingkat) dan Pak Ariez rapat Studium General, saya menikmati pemandangan di sekitar saya.

Adik-adik tingkat tiga sibuk mencari OP untuk mata kuliah Psikologi Eksperimen, saya tak luput ditawari jadi OP. Adik-adik tingkat dua yang terjun di kepengurusan BEM sibuk menyusun LPJ dan persiapan Evaluasi Pengurus. Adik-adik tingkat satu menunggu pembagian jaket Jurusan. Sementara kawan-kawan tingkat empat, duduk di ruang tamu, mencari mangsa untuk mengisi kuesioner PSP, kuesioner-kuesioner itu sudah membuat mereka tampak sedang mengambil data untuk skripsi.

Jam makan siang mulai bergerak menjauh, saya masih duduk menunggu. Rasa lapar harus saya tahan karena tidak memungkinkan untuk membeli makanan di luar dengan kondisi hujan seperti itu. Di ruang tamu, yang biasanya penuh dengan jajanan, hari itu sama sekali tidak ada, hanya ada minuman gelas saja yang tersisa. Rupanya, seorang kawan saya, Anjar, juga merasa lapar seperti saya.

“Tan, nggak jualan makanan lagi nih?!” tanyanya. Saya tersentak.
“Udah pensiun, Njar! Udah kaya sekarang mah!” Celetuk saya sekenanya. Kami tertawa.

Tak lama, saya melihat dua orang adik tingkat pertama datang menghampiri, membawa kantong plastik. Kuterka, makanan.
“Bawa apa, Pit?” Tanya saya
“Jualan Teh, buat Inaugurasi…” Karena lapar, saya beli saja snack si Apit itu untuk mengganjal sedikit ruangan di lambung saya yang sedari tadi berharap diisi.

Dulu, sayapun pernah seperti itu. Kawan-kawan saya tahu itu. Entah bagaimana ceritanya, tapi yang saya ingat, saya pernah mengatakan pada salah satu kawan di Tekpend kalau saya ingin usaha. Dia lalu menyambungkan saya dengan si kembar Ana dan Ani yang akhirnya membuat saya berjualan cokelat. Beberapa hari sekali, saya menunggu di depan Garnadi. Menunggu sekotak cokelat untuk saya jual. Satu cokelat yang berwarna-warni dan beraneka bentuk itu saya jual lima ratus. Hal ini bertahan beberapa bulan. Kadang, saya tergoda untuk memakan cokelat itu sendiri, kadang ketika cokelat bersisa banyak, justru saya bagi dengan teman. Sampai akhirnya, pelanggan jenuh dan saya memutuskan untuk berhenti.

Tingkat pertama juga, saya bergabung di Kopma dengan sepenuh hati dan tanpa mengikuti jalur penngaderan yang seharusnya dan ditempatkan di Divisi Usaha Kopma FIP. Saya yang dari dulu pernah mencicipi berdagang, semangat saja ketika bergabung di sini. Cocok, pikir saya. Memang sedikit berbeda dengan pola berjualan saya ketika membangun warung kelas bersama Fanny ketika SMA, namun Kopma lah yang membuat saya mengalami bagaimana rasanya menjadi pedagang kaki lima ketika ada wisuda. Kami bermalam di kampus untuk mendirikan lapak, dan selama wisudaan kami menawarkan barang-barang jualan kami yang beraneka macam itu, sama seperti pedagang lainnya. Bahkan, kami dituntut berani untuk mengasong ketika lapak sepi. Mengasyikkan rasanya. Barang jualan kami yang berupa donat, gorengan, bunga, koran, aksesoris, minuman, snack dan lain-lain itu cukup laris.

Masih di tingkat pertama juga, saya mengenal Teh Hanifah, kawan pindahan dari PPB. Setelah dekat dengan Teh Hani (panggilan untuk Teh Hanifah), saya baru tahu kalau Teteh selalu membawa kotak dagangan setiap kali kuliah, tapi kotak itu hanya tersimpan manis di dalam tasnya. Saya tidak betah melihat ini dan langsung menawarkan diri menjajakkan gorengan-gorengan Teh Hani. Ternyata teman-teman suka dan dagangan Teh Hani yang berupa risoles, pastel, moln, dan dadar gulung itu laris manis diserbu teman-teman yang belum sempat sarapan.

Teh Hani lalu menghilang, jarang muncul di kampus. Akhirnya, saya menggantikan Teh Hani berjualan. Pagi-pagi saya ke rumah Ibu Sri di Gegersuni sana (saya kost di Geger Bhakti saat itu), sore-sore saya ke sana lagi untuk setoran. Asyiknya transaksi sama si Ibu karena kami (para penjual) bebas menentukan berapa banyak kami mengambil makanan buatannya hari itu dan kalau tidak habis, kami boleh mengembalikannya dengan perhitungan yang jelas. Seringkali, si Ibu menyisipkan beberapa risoles sebagai tambahan yang oleh saya saya makan sendiri. Atau menawari untuk mengambil beberapa risoles atau pastel yang baru saja matang untuk sarapan.

Perkara berdagang ini saya jalani cukup lama. Pernah selain berdagang makanan buatan Ibu, saya mengambil juga donat atau kue-kue seperti bolu karamel dan kawan-kawan. Namun karena terlalu mahal, teman-temanpun kurang begitu menikmatinya. Sesekali juga membantu kawan menjualkan pulsa atau snack. Ketika di kampus beredar kabar tidak diperkenankan membawa makanan ke kelas, saya berpikir untuk menaruh jualan saya di kantor Jurusan. Waktu itu saya sudah bergabung di BEM. Pikir saya, kanjur bisa jadi pusat jualan. Konsumennya bukan hanya mahasiswa tapi juga dosen-dosen. Saya jalani beberapa lama sampai Pak Ayi juga ternyata menitipkan gorengan di kanjur. Saya mulai jarang membawa dagangan. Adik tingkat juga tampaknya ada yang tertarik untuk berjualan. Maka saya pensiun dari urusan berdagang makanan, produk yang tak pernah sepi pembeli.

Saya beralih menjual baju. Kawan saya yang kuliah di Unjani yang menawari. Jadilah sebulan sekali kami bertemu untuk bertransaksi. Bisnis ini cukup lancar namun cukup menggoda bagi saya. Hingga terkadang, saya sisihkan baju yang menarik bagi saya. Maka tak heran, laba yang tak seberapa itu dua kali akhirnya saya nikmati dalam bentuk baju. Ibu kost saya, Ibu Yuyun rupanya memperhatikan saya. Beliau juga menitipkan rok untuk dijual.

Sekarang, saya tidak berjualan apa-apa. Berjualan baju dilanjutkan oleh Mamah di rumah. Berjualan makanan, ah biarlah sekarang anak-anak BEM yang mengurusnya lewat Biro Perekonomian. Sekarang saya free dan menjalani sisa-sisa kehidupan sebagai mahasiswa. Setiap kali melewati DT pagi hari, di dekat apotek Asy-Syifa sana, tempat Bapak penjual donat, saya selalu terkenang. Apalagi melihat wajah-wajah mahasiswa yang membawa kotak-kotak donat atau gorengan. Mellihat mereka seperti melihat diri saya. Saya teringat bagaimana dulu ketika SMA, bersama Fanny, menyisihkan uang kami untuk membuat kantin kelas, menjadi pesaing bagi warung-warung yang ada di sekolahan meskipun konsumen kami hanya kawan-kawan sekelas. Pun ketika waktu itu saya kembali ke rumah Ibu Sri, semakin banyak saja Ibu membuat pastel, risoles, moln dan dadar gulung. Rupanya semakin banyak pula yang mengambil makanan di situ untuk dijual lagi. Saya rindu, rindu waktu-waktu pagi hari yang saya habiskan untuk membantu Ibu Sri memasukkan makanan-makanan buatannya ke dalam kotak-kotak yang akan saya bawa, saya rindu melihat wajah-wajah kelaparan kawan-kawan saya di kampus ketika menyerbu dagangan saya. Namun memang ada waktu bagi setiap episode dan sekarang, saya ingin menikmati sisi kehidupan saya yang lain. Saya hanya terkenang, dan tak ada yang lebih menyenangkan bagi saya selain menikmati kehidupan yang saya jalani.

19 Desember 2010
Saat adzan berkumandang

2 comments:

  1. Sayah pun mengakui, kalau kita emang mahluk yg tak bisa lari dari masa lalu...

    ReplyDelete
  2. karena masa depan masih sulit untuk dapat dipandang, maka saya memilih memandang masa lalu. mudah2n bisa membantu menentukan arah selanjutnya.
    :D

    ReplyDelete