Pages

Saturday, May 07, 2011

Berceloteh Tentang Hidup (Bagian I)

7 Mei 2011
ah, sedikit ingin bercerita

Sekolah Dasar.
Ah, memang masa-masa itu sduah jauh terlewat. Bagian-bagian ingatan sayapun sepertinya sudah terhapus, seperti bangunan sekolah dasar saya yang juga sudah rata dengan tanah. Iya, beberapa tahun selepas saya menamatkan pendidikan saya di SDN Kepandean II, SD itupun turut "menghilang", termerger dengan sekolah dasar lain lantaran siswanya semakin tahun semakin sedikit, lantaran beberapa tahun terakhir bangunannya selalu (hampir) terendam banjir dari sisa air pembuangan perusahaan air minum.

Saya sepertinya masih sanggup menggambarkan bagaimana indahnya sekolah saya itu. Halamannya sangat luas kalau harus dibandingkan dengan sekolah lain. Luas sekali sampai kami (para siswanya) hanya sanggup berlari mengitarinya satu kali saking luasnya. Di halamannya itu tumbuh dua pohon baujan yang secara ilmiah disebut Samanea saman, besar-besar sekali sampai akar-akarnya menonjol keluar dari tanah. Ada pula pohon randu yang juga besar, pohon yang selalu menghibur saya dan teman-teman karena kapuk-kapuknya yang halus terbang terbawa angin. Kami menganggapnya seperti salju. Ada juga pohon kelapa yang besarnya tak pernah berubah dengan buah yang kuning pucat, beberapa pohon mangga yang bisa kami naiki, jajaran pohon pisang yang rapi berbaris di antara parit-parit kecil tempat kami menengok ikan-ikan, dan rumpun kembang sepatu sebagai pagar sekolah kami. Juga ada jembatan di depan sekolah tempat kami duduk-duduk menjulurkan kaki bermain dengan air kali.

Sekolah saya cukup tinggi, dengan ruang kelas yang besar dan gelap. Loncengnya masih berupa lonceng dari besi, besar dan berkarat. Di belakang sekolah terhampar sawah, lengkap dengan saluran irigasinya yang sering saya lompati bersama teman-teman, hampir setiap sore. Ah, alangkah indahnya masa itu!

Dan di sekolah inilah, di masa inilah saya mendapat pelajaran berharga. Kawan, dulu saya memang langganan menjadi nomor satu di kelas. Prestasi saya lumayan lah, sampai suatu hari di kelas tiga SD, menjelang hari-hari pembagian rapor.

Kawan perempuan saya bilang kalau menurut guru agama, dia akan mendapat peringkat yang bagus, peringkat satu. Di pikiran kanak-kanak saya dulu, saya mengatakan begini,
"Ah, silakan saja kamu bilang begitu toh kita ga tau siapa yang akan jadi ranking satu." yang jelas, saya biasa saja menyikapinya. Ternyata, saat raport dibagikan, lagi-lagi saya yang menempati posisi itu. Ya sudah, saya tak banyak ambil pusing karena begitulah kenyataannya.

Rupanya, sikap kawan saya ini berubah. Ia mulai menjauhi saya,bersama teman-teman yang lain. Kawan saya saat itu hanya anak-anak lelaki dan seorang teman perempuan. Saat sedang asyik-asyiknya bermain bonbonan (saya tidak tahu, apa bahasa Indonesia untuk permainan tradisional ini), tiba-tiba orangtua dari kawan yang sedang menjauhi saya itu datang menghampiri dan mengomeli saya. Dikiranya saya sudah melakukan perbuatan yang kurang baik ke teman saya itu, memukul lah, mendorong lah. Saya kaget saja, lha wong saya tidak pernah melakukan semua itu. Saya tidak pernah ambil pusing atau berpikir untuk menyakiti teman saya itu, tidak meskipun bagi saya, tetap menjadi tekanan batin ditinggal oleh sebagian besar teman-teman.

Saat sedang diomeli itulah, rombongan teman saya melintas sambil memandang saya dan teman-teman saya dengan pandangan yang menyeramkan bagi saya ketika itu. Lantas, seperti di sinetron, mereka mengata-ngatai. Duh, semakin nyeri saja hati ini dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hari itu menjadi hari kelabu bagi saya sepanjang masa sekolah dasar.

Saya tidak menceritakan kejadian ini kepada orangtua saya. Bagi saya, sudahlah, toh hanya kejadian di sekolah saja. Beberapa tahun lalu, saat sedang bercerita banyak hal ke Mamah, secara tak sengaja saya menceritakan kejadian di sekolah dasar itu.

Mamah tercenung mendengarnya,sambil mengelus rambut saya.
"Duh, Tan... kenapa nggak pernah cerita kalau kamu pernah disakitin orang?"



~bukan begitu, saya hanya ingin mencoba menyelesaikannya sendiri