Pages

Monday, February 28, 2011

untitled

Kau tahu, telah lama aku merindukan gemintang. Mega merayap, menghisap bintang-bintang dalam hibernasinya yang panjang. Purnama tenggelam sebelum senja membuka malam. Angin berkibaran, menundukan mata kelelawar, menyudutkan tupai-tupai dalam sarangnya yang hangat.

Tidakkah kau mengerti, aku sungguh melihat fatamorgana surya. Beberapa detik yang kuharap penuh cahaya dan angin membawa kabar musim semi. Dandelion masih serupa serpihan, tertimbun di lapis tanah teratas, terselip di antara dedaunan yang lunglai lepas dari reranting. Kupu-kupu belum berani menampakkan kibasan sayap halusnya di antara rumpun mawar yang tertidur.

Atau mungkin kau merindukan gemintang melebihi kerinduanku, sampaisampai mega kau tebas. Dan bintang mulai tersipu malu untuk kembali berlarian pada kain malam yang menjuntai di angkasa. Purnama berganti wajah, dan angin kembali bersahabat dengan sang kelelawar, bersenda gurau dengan tupai-tupai di lubang pohon kita.

Karena bisa jadi, engkau telah melihat surya menggeliat sambil menyapukan senyumnya pada bumi. Beberapa bulan yang serasa benderang dan angin menerbangkan serpihan-serpihan dandelion ke bawah kakiku, terjatuh di atas rerumputan yang mengelilingi akar-akar pohon yang riang. Kepompong-kepompong telah ditanggalkan, dan udara semerbak dengan belaian sayap kupu-kupu yang membawa wangi rumpun-rumpun mawar.