Pages

Tuesday, November 30, 2010

Memanggil dengan Sebutan yang Pantas



Siang itu, seharusnya ada kuliah Deteksi Dini. Saya tahu saya terlambat, namun karena belum shalat, maka sudah sepantasnya bagi seorang Muslim untuk bersua sejenak dengan Rabbnya. Baru saja melangkahkan kaki di Mushala gedung ex. Pasca, teman sekelas mengabarkan hari ini tidak ada kuliah Deteksi Dini, ada tugas sebagai penggatinya. Entah saya harus bersyukur atau apa. Maka, karena belum makan, saya ajak kawan saya makan siang. Pilihan kami jatuh pada Kafetaria FIP. Di tengah keasyikan kami makan, datang seorang kawan lagi dan obrolanpun mengalir begitu saja.
Salah satu kawan saya ini cerita bahwa dirinya sedag sakit gigi.

“Minum obat dulu…”
“Obat apa? Ponstan?” Tanya kawan saya yang satu lagi. Saya sih tidak terlalu peduli karena toh saya, Alhamdulillah, belum pernah sakit gigi dan tidak tahu obat apa yang mujarab menangani penyakit paling mengerikan plus paling merana karena tidak pernah ada orang yang menjenguk orang yang sakit gigi.
“Bukan, obat mahal” celetuk kawan saya, sebut saja si gigi sakit.
“Halaaah, belagu!” komentar saya sambil tertawa.
“Iya, orang kata si Mangnya gitu. Kan saya bilang, Mang, obat apa yang paling ampuh buat sakit gigi? Si Mangnya jawab, itu Neng, obat mahal…” si gigi sakit terus saja bercerita ambil menunjukkan obat mujarab yang besarnya masih kalah jauh sama antimo yang sering saya minum sementara kognisi saya bekerja.
“Emang kamu beli obatnya di mana?” Tanya kawan saya yang sudah menyingkirkan mangkok mie ayamnya.
“Apotek.”
“Lho? Dikirain tuh di warung… kamu manggilnya Mang sih, jadi saya pikirnya beli di warung. Asa aneh manggilnya gitu…” kata kawan saya ini, sekaligus memaparkan juga hasil kognisi saya.

Kawan, Shakespear pernah bilang, apalah arti sebuah nama? Sementara Rasulullah kita menyebutkan, panggilah kawanmu dengan sebaik-baik panggilan. Saya jadi berpikir, kok seperti ada tingkatan dalam memanggil seseorang yang menyediakan jasanya bagi kita ya? Masalah sepele sih, cuma kok kesannya jadi gitu ya? Kita memanggil supir angkot dengan sebutan “mang”, kita memanggil penjual batagor dengan “mang”, memanggil penarik becak dengan “mang”, penjual buah kita panggil “mang”, dan penyedia jasa lain yang notabene orang-orang yang secara tidak sadar kita masukkan dalam kotak orang-orang kecil dengan sebutan itu. Sementara kita memanggil dokter dengan “pak”, apoteker dengan “pak”, kasir dengan “mas”, kondektur bis eksekutif dengan “mas atau pak”, supir bis dengan “pak”. Sampai saat ini, saya sebenarnya masih belum mengerti.

Mungkin saja karena bahasa dalam suatu budaya. Kata “mang” sendiri memiliki makna paman, dari kata “mamang” kalau dalam bahasa Sunda atau bahasa saya di Indramayu. Kalau dilihat dari urusan ini, maka sah-sah saja sebenarnya, karena masih halus dan sopan. Namun ketika melihat pemakaiannya terhadap objek yang berbeda, maka memanggil mang pada penjual bakso dengan mang pada apoteker, tentu akan menimbulkan rasa bahasa yang berbeda. Tidak, saya tidak ingin memaksakan pendapat saya, karena saya berprinsip, ketika memanggil seseorang haruslah dengan sebutan yang paling baik, jadi memang kembali kepada kita semua. Tak masalah untuk memanggil penarik becak dengan sebutan “pak” sekalipun kan?

Sore hari ditemani Ebieth
Gg. Al-Barkah, yang semoga mendatangkan berkah, 29 November 2010

Friday, November 26, 2010

Dari Sepenggal Uraian Kisah Yahya Ibnu Yahya

Adalah Yahya ibnu Yahya yang setia pada prinsipnya. Lelaki Andalusia itu berjalan hingga ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik. Dan itulah yang mengisi hari-harinya di Madinah: mempelajari lautan ilmu yang disampaikan oleh sang guru, tak tertarik barang sedikitpun untuk lengah.
Saya membaca kisah itu pagi tadi, kisah yang sama yang pernah tersampaikan oleh seorang ustadz dalam kajian yang saya ikuti.

Sungguh, ternyata saya bukan seorang yang kuat seperti yang saya kira. Saya terlalu bersemangat mengambil peran di sana-sini tanpa memperhatikan hak-hak saya, tanpa memperhatikan kadar kemampuan yang saya miliki. Sebenarnya, amanah ini mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tapi bagi saya, bagi seseorang yang memiliki kepribadian seperti saya, menjadi suatu hal yang kadang membuat perasaan serba salah, yang terkadang membuat saya menghindarinya. Mungkin puncaknya adalah hari ini. Saya sadar bahwa besok adalah hajat salah satu organisasi yang saya ikuti, tapi di saat yang sama, saya sudah dikejar deadline untuk menyelesaikan proposal dan mengantarkannya ke yayasan. Ditambah, tiba-tiba kawan saya meminta tolong pada saya untuk mewakili kelompok kami bimbingan salah satu mata kuliah.

Proposal yang sedianya saya targetkan selesai sebelum jam sepuluh nyatanya harus tertunda karena ada file yang hanya tersimpan di laptop yayasan yang sedang dipegang oleh kawan saya. Saya kirim pesan padanya untuk segera mengirimkan via email, nyatanya dia masih kerja dan baru sempat mengirim lepas jam sepuluh. Dosen saya pun nyatanya ada kelas sampai jam setengah sebelas, jadilah saya menunggu sembari menyelesaikan proposal yayasan. Tiba-tiba, dosen seminar saya memanggil dan saya harus bimbingan dengannya selepas Jum'atan. Subhanallah, beginilah kalau Allah sudah berkehendak. Saya stres. Ditambah belum mempersiapkan konsep untuk acara silaturahim Ahad besok. MasyaAllah. Secara manusiawi, saya lelah. Ingin rasanya pergi ke suatu tempat, tak usahlah itu handphone berdering, tak usahlah itu komputer menemani, tak usahlah smeua pikiran itu menghantui.

Nyatanya saya tidak sanggup, sampai tiba-tiba, Mamah mengirim pesan.
"Intanku sayang, apa kabar?" saya balas
"Baik mah, cuma lagi bingung aja..." dan si Mamah yang selalu khawatir terhadap anak-anaknya itu langsung menelepon, dan saya sudah tak sanggup lagi membendung air mata yang entah untuk apa.
"Kan, amanah awalnya Intan ke Bandung buat kuliah kan ya?" begitu kata Mamah.
"Intan kan udah milih, ya sekarang tinggal Intannya aja gimana. Intan ga bisa ambil semua, kan kita punya kapasitas sendiri-sendiri ya? Diselesaikan, nanti malah bukannya tambah saudara, justru tambah yang ga suka sama Intan lagi..."

Terkadang saya pikir saya sanggup, mungkin secara fisik saya sanggup tapi rupanya membagi fokus itu yang sulit. Mungkin begitulah Yahya ibnu Yahya yang memutuskan untuk konsisten menuntut ilmu tanpa tergoda sedikitpun untuk menengok kehadiran gajah di bumi Madinah seperti kawa-kawannya yang lain karena ia ingin fokus, karena bisa jadi ia akan kesulitan untuk membagi konsentrasinya.

Sekarang tinggal saya. Pada akhirnya saya memang harus menyelesaikan semuanya. Setelah merehatkan pikiran di kotsan Devi, saya membenahi amanah yang Allah anugerahkan pada saya hari ini. Pertama, saya bereskan proposal yayasan, plus mencetak dan menjilidnya. Kedua, saya temui Pak Ariez untuk bimbingan. Ketiga, saya penuhi dulu hak tubuh saya, maka saya sisakan waktu sejenak untuk makan. Keempat, pulang ke kotsan mengambil stempel yayasan. Kelima, pergi ke Jalaprang, mengantar proposal. Keenam, datang ke persiapan Training Legislatif di FPIPS.

Ketujuh, di sinilah saya. Duduk di salah satu warnet favorit saya di Gerlong, sekedar berbagi denganmu kawan. Kawan, mungkin sudah saatnya kita menjadi diri sendiri, tak usah memaksakan diri sendiri menjadi seperti orang lain, kalau memang kita tidak sanggup untuk menerima konsekuensinya. Mungkin lebih baik menjadi seperti Yahya ibnu Yahya yang dengan sepenuh hati fokus menjalani amanah yang dibetikan Allah padanya, amanah yang telah dipilihnya, amanah yang memang telah diukurnya masak-masak, ditimbangnya dengan hati-hati agar memang benar-benar sesuai dengan kemampuannya. Mudah-mudahan bisa diambil ibrahnya.

Monday, November 22, 2010

Masa Paling Indah

lagi, memindahkan tulisan dari akun friendster saya.
February 8th, 2009

Kawan, sepakatkah engkau kalau masa terindah sepanjang hidup kita adalah masa SMA? Yawp, itu pilihan. Di sini Ntan mau cerita masa SMA Ntan yang penuh… gile… apa ini?!

Pas pulang ke Indramayu kemarin, Ntan sempet baca-baca catatan, tepatnya buku puisi Ntan. Tahukah kawan apa isinya? Kebanyakan tentang kesedihan, rasa ga percaya diri, persahabatan, dan… ya kau taulah, hahaha… Baca buku itu seakan Ntan balik lagi ke zaman SMA. Ntan jadi inget nakal-nakalnya Ntan, kesepian di sekolah, sampe remedial yang berulang-ulang untuk pelajaran hitungan. Weleh-weleh…

Setelah Ntan inget-inget, ternyata Ntan pernah pergi ke Cirebon nae motor sama beberapa orang temen, tanpa izin dari ortu. Gile dah. Tujuan ke sana sih insyaAllah bener, wong kita mau balikin buku-buku bazaar dari Gramed kok, tapi ya nekat aja gitu lho. Pada akhirnya sih Mamah tau, ya… insting keibuan mungkin, dan ga marah malah bersyukur anaknya pulang selamat. Kebayang ga sih, anak semuda kita nae motor ke Cirebon yang kalau nae mobil pun hampir satu setengah jam. Belum lagi banyak kendaraan gede yang lewat jalan Indramayu-Cirebon. Bisa mati konyol kalau mpe kecelakaan di sana, naudzubillah…

Terus, Ntan juga pernah ke Bandung, pas jam pelajaran. Disuruh guru Ntan ikut rombongan guru-guru buat ta’ziah ke keluarganya guru Ntan di sana. Bayangin, Ntan ga ikut belajarand baru kasih tau Mamah pas di jalan… gile! Pulang malem lagi tanpa tas, cz tas Ntan ditinggal di sekolah tanpa ada yang nganterin ke rumah. Jadilah besoknya Ntan berangkat pake tas yang lain… Hiks hiks sedihnya kalau ga punya temen deket…

Ntan juga sering mabal, istilah kerennya mah dispensasi tapi kebanyakan Ntan and temen-temen di OSIS sengaja kabur. Hahaha,,, kawan… jangan pernah ngelakuin ini cz Ntan sendiri ngalamin nilai Ntan anjlok semua!!! Cuma kehendak Allah aja Ntan bisa dapet PMDK di UPI! Allah sayang kan, sama Ntan?? Hehehehe. Hal ini yang Ntan syukurin banget sementara temen-temen yang jarang ga ikut kelas and rajin bimbel sana sini justru sekarang kuliah di swasta.

Kelas tiga, pas asyik-asyiknya nae sepeda kesana kemari, setiap abis maghrib Ntan kayuh sepeda kurang lebih 5km (pp), bantuin Bapak. Lumayan, dari itu semua Ntan dapet uang tambahan,, ^-^ Ntan juga sempet coba-coba usaha gitu… barengan sama Fanny, di kelas dua, dengan modal awal pinjam sana-sini, kita bikin warung kecil di kelas. Kan di kelas kita ada loker tuh, jadi belanjaan dari pasar kita tampung di situ. Lumayan berlanjut mpe kelas tiga and laba bersih kita lebih dari seratus ribu perorang. Kaya kan?

Ntan juga mulai melek lagi masalah sosial pas SMA (pas SMP cuma sekedar tau, udah.). Ntan gabung di Forum Anak Kabupaten Indramayu yang ngenalin Ntan ke dunia ‘keanakan’ mpe Ntan dilabelin “tukang ngurus anak”. Alhamdulillah di sini Ntan dapet apa yang temen-temen Ntan ga dapet. Alhamdulillah bisa jadi wakil di ajang Kongres Anak Indonesia.

Kawan, Ntan hobi banget ada di luar rumah. Ntan bisa berangkat ke sekolah jam 5.30 (ada pelajaran olga di jam ke-nol! hehehehe) and bisa pulang ke rumah pas maghrib. Ngapain aja, Ntan? Ntan pikir, masih banyak hal di luar yang perlu Ntan tau. Selain itu, Ntan nikmatin banget sekedar duduk nongkrong di sekolah, belajar bareng temen-temen and ngobrol. Ntan suka sekolahan! Tapi Ntan juga nikmatin banget momen-momen Ntan jalan bareng Mamah atau Bapak di sore hari, jalan bareng ortu inilah yang bikin Ntan deket sama Mamah and Bapak. Di saat-saat kaya gini, kita biasa cerita-apapun- dan ini yang sering Ntan kangenin sekarang, huhuhu…

Kawan, sebadung apapun dirimu, seberat apapun masalahmu, pasti ada hal-hal yang dirimu cintai. Dan yang mesti kita yakinin juga, Allah sayang kita, dan karenanya Dia menciptakan jalan hidup kita penuh lika-liku supaya kita bisa mengartikannya sebagai kehidupan. Masa paling indah bagi Ntan adalah, masa di saat Allah kasih kita kesempatan untuk merasakan hidup di dunia dan menjadi manusia berarti di dalamnya.

Takdir

saya copy dari catatan (yang sayang kalau tidak di-reshare) di blog friendster saya.
March 9th, 2009

Kawan, ada orang2 yang padanya dituliskan kehidupan yang senantiasa mudah, maka apa yang harus ia lakukan? Bersyukur, ya… hanya itu. Lantas ada orang yang padanya dituliskan agar ia senantiasa berusaha-dengan usaha terbaiknya- untuk meraih kebahagiaan, apa yang harus ia lakukan? Tiada lain ialah bersyukur dan tentu saja, sabar.

Demikian yang Allah kehendaki.

Liburan yang cuma beberapa hari ini Ntan manfaatkan untuk pulang, sekedar berhenti sejenak, untuk menarik nafas. Tahukah kawan? Ntan bertemu seorang sahabat, sahabat SMP, saingan terberat di mata pelajaran hitungan. Otaknya brilian bukan main, selalu menyapa Ntan dengan sebutan Aa. Ia seorang pramuniaga, sekarang.

Terbayangkankah olehmu kawan, ia punya talenta yang cukup untuk menjadi seorang ahli matematika atau seorang ilmuwan, tapi kenapa? Kenapa harus pramuniaga? Ini kerahasiaan takdir. Jujur, Ntan selalu tak enak akan takdir Ntan kalau bertemu kawan2 Ntan yang kondisinya tak lebih baik dari Ntan. Dan kawan, sahabat2 Ntan yang tak seberuntung Ntan itu banyak!

Ada sahabat yang Ntan temui di counter Alfamart, ada juga di pengisian tabung gas elpiji, ada banyak sekali sahabat Ntan yang menjadi TKI di luar negeri, bahkan ada seorang sahabat yang sekarang jadi TKI di luar negeri yang tidak ketahuan kabarnya. Tahukah kawan, ia adalah seorang sahabat dengan kecerdasan di atas rata2, seandainya ia ikut senua rangkaian tes beasiswa maka Ntan yakin ia bisa, ia yang selalu bawa makanan untuk dijual di sekolah, ia yang rumahnya paling jauh di antara kami di SMA dulu… tapi siapa sangka sekarang ia yang “menghilang” dengan kabar terakhir yang menghantui pikiran Ntan satu setengah tahun yang lalu.

Kawan, Ntan bersyukur Ntan bisa seperti sekarang. Setidaknya, atas segala hal yang tak bisa Ntan capai, Ntan masih bisa berada pada titik ini. Kawan, ada sekian banyak orang memiliki takdir yang tak seberuntung kita, maka apakah kita akan menyiakan kesempatan mendapatkan takdir yang begitu indah ini???