Pages

Friday, December 10, 2010

Di Sudut Sabtu

aku menunggumu di tempat yang dulu,
saat angsana merekah
di titik pengap yang mulai berpendar
dan mentari kokoh mematung di atas kota.
apa kau ingat?


Damarrati Nawa duduk pada sebuah kursi kayu panjang di taman kota, melemparkan pandang pada sungai yang membelah kota. Bunga-bunga angsana berguguran, terkalahkan oleh halusnya angin bulan Oktober. Tengah hari telah berlalu. .
Sudah menjadi kebiasaan Nawa mentolerir kebiasaan buruk bangsa ini : jam karet, dan seperti biasa, ia tak sedikitpun mengeluh. Kedua rekan yang ditungunya tak kunjung muncul. Andai saja Nawa menyimpan nomor telepon kedua rekan SMPnya itu, tentu ia sudah menghubungi keduanya, mengingatkan kalau-kalau mereka melupakan janji yang pernah terucap.
Lucu rasanya berjanji henya mengandalkan ingatan, apalagi janji itu dibuat delapan tahun yang lalu. Siapa yang akan ingat? Nawa bukannya tak menyadari hal itu. tapi ia punya keyakinan kalau kedua sahabatnya itu pasti akan datang, cepat atau lambat. Nawa tetap akan menunggu.
Terlalu lama berdiam diri rupanya memanggil ingatan-ingatan masa lalu Nawa. Helai-helai memori terjalin, membentuk satu lukisan episode yang pernah dilalui Nawa bersama Andaru dan Ryo, kawan SMP yang tengah ditunggunya sekarang. Mereka berbeda : Nawa yang melankolis selalu saja menjadi bulan-bulanan keisengan Andaru dan Ryo. Sementara itu, Andaru penyuka permainan sepak bola yang membuat Nawa dan Ryo serung sekali pulang terlambat gara-gara harus melihat puluhan aksi Andaru yang mencoba memasukkan bola ke gawang. Dan ia tak pernah berhasil. Sementara Ryo berkutat dengan OSIS,meninggalkan dua sahabatnya untuk rapat-rapat OSIS yang memakan waktu lama itu. Nawa terus saja melayangkan ingatannya pada masa-masa itu, masa ketika mereka melewatkan waktu bersama, yang terangkum dalam buku curhat yang dibuat Nawa untuk mereka bertiga. Entah, buku itu berada di mana sekarang.

***

Hari yang terik tak menghalangi Ryo Aditama untuk pergi memancing ke sungai yang membelah taman kota. Ikan di sana memang besar-besar, namun ada hal lain yang mengganggu pikirannya. Bukan itu alas an utama ia datang kemari, ada hal lain yang ingin sekali ia penuhi.
Ryo melempar kailnya jauh-jauh, lantas duduk bersila di atas rerumputan di tepi sungai. Dari sana ia bisa melihat ke seluruh penjuru taman. Mata minus dua yang berhias kaca mata itu menagkap satu bayangan dengan ragu. Sosok di seberang sana itu…
“Ah, itu kau rupanya! Begitu banyak kau berubah, sampai aku hampir-hampir tak lagi mempercayai mataku ini!” gumamnya. Ryo mengeluatkan sebuah buku catatan kumal dari ranselnya. Sambil menunggu ikan terkait pada kailnya, Ryo menuliskan sesuatu pada buku itu.

***

Deru mesin tiger memecah siang yang terik itu tiba-tiba berhenti begitu saja. Pengendaranya turun setelah memarkirkan sang tiger dengan seenaknya di pinggir taman. Kau akan mengenalinya kalau kau besar di kota ini. Ialah Andaru. Dengan langkah yang ia buat segagah mungkin, ia menyusiri taman kota sembari menghisap sebatang rokok. Bibirnya hitam, tubuhnya kurus. Berbeda sekali dengan penampilannya ketika menjadi bintang sepak bola SMA. Andaru menggenggam seikat krisan yang ingin diberikannya pada kawan karibnya ketika SMP dulu. Dar uterus melangkah menuju bangku kayu tua dan duduk di sana, di samping gadis bergamis hijau toska berkerudung putih.

***

“Uhhukk” Nawa terbatuk. Sejak dulu, Nawa tidak menyukai asap, terlebih asap rokok. Sekarang, ia harus berbagi udara dengan orang di sampingnya yang baru saja menghembuskan asap rokok.
“Oh, maaf… biar kumatikan.” Lelaki itu, Andaru, mematikan sisa rokoknya.
“Kamu nunggu siapa?” Tanya Andaru yang ternyata dijawab dingin oleh Nawa.
“Teman.”
“ Dia pasti teman special kamu ya, sampai kamu rela panas-panasan menunggu di sini?” Tanya Andaru lagi.
“Maaf, tidak penting untuk kamu tahu, kan?” jawab Nawa. Andaru tercenung. Ia sama sekali tak menyangka Nawa telah begitu berubah, bahkan tak mengenalinya lagi. Delapan tahun rupanya telah mampu mengubah seseorang.
Andaru memandang Nawa, kemudian melihat dirinya sendiri. ia menyadari sesuatu. Tak mungkin lagi ia berharap dapat menikahi Nawa, tak merasa pantas ia untuk Nawa. Yah, ia telah kehilangan semuanya ; keluarga, karir sepak bola, bahkan kini harapannya pada Nawa. Andaru menyerah.
“Mba, aku laper… minta duit dong…” seorang anak kecil berpakaian kumal menarik-narik kerudung Nawa. Nawa terperanjat, tersenyum, lalu mengeluarkan kotak makan dari tasnya.
“Ini aja ya, De?” Nawa memberikan kotak itu.
“Makasih Mba! Ini, ada titipan dari mas-mas di sana!” bocah itu mengarahkan telunjuk ke arah pemancingan, mata Nawa mengikuti arah yang ditunjukkan bocah tadi, namun tak ada siapapun di sana.
“Lho? Bener kok Mba, tadi ada mas-mas di sana! Suer! “ Bocah itu meletakkan buku yang dibawanya di samping Nawa dan buru-buru berlari sambil membawa kotak makan Nawa.
“Hei, makasih ya, De!” seru Nawa.
“Kamu percaya gitu aja sama dia?” Andaru yang sedari tadi memperhatikan, berkomentar.
“Iya”
“Kenapa?” Tanya Andaru. Nawa diam.
“Kenapa kamu nggak melakukan hal yang sama padaku?!” Suara Andaru meninggi. Nawa terkejut. Siapa dia, tiba-tiba marah padanya?
“Aku tahu, kamu takut padaku kan? Atau jijik? Sudah. Kamu nggak perlu jawab, karena itu cuma menyakitiku saja. Kamu nggak akan pernah ngerti sebesar apa cinta yang kumiliki!” Andaru bangkit, diletakkannya bunga krisan di dekat Nawa dan mulai melangkah menuju motornya. Nawa tercenung, kemudian bangkit.
“Hei! Siapa kamu?!” Andaru terus berlalu. Nawa mencoba mencerna kata-kata orang yang sebenarnya tak begitu asing baginya. Nawa berpikir begitu lama dan baru menyadari bahwa orang tadi adalah Andaru, kawan SMP yang tengah ditunggunya namun Nawa tak dapat melakukan apa-apa karena Andaru telah pergi bersama motor kesayangannya.
Nawa meraih bunga yang ditinggalkan Andaru, juga buku yang diberikan oleh anak kecil tadi. Ia tahu benar buku itu adalah buku yang sengaja dibuatnya untuk dia, Ryo, dan Andaru. dibukanya buku itu helai demi helai sampai menemukan lembar yang baru saja ditulis.



Oktober 2006
Sudah lama buku ini ada padaku dan karena itulah aku terus mengingat kau, Andaru, dan persahabatan kita. Waktu telah mengubah kita. Kuucapkan selamat atas pilihanmu, Nawa. Aku tahu, Islam adalah hal yang telah lama kau cari. Juga bagimu, Andaru… semoga kau dapat menjaga apa yang telah kau raih. Sungguh hari ini aku datang, tapi aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menemui kalian. Karena itulah, mungkin dengan buku ini saja kita bertemu. Aku masih sahabat kalian, kan?
Ryo Aditama


Nawa menutup buku itu. Hari telah begitu sore dan Nawa melangkah dengan perasaan yang koyak. Sungguh ia tak tahu kalau beginilah akhir dari pertemuan yang ia harapkan indah seperti dulu. Bunga-bunga angsana gugur dalam gugusan, menemani langkah Nawa yang berat.



-Ditulis 11 April 2007-
[menemukan lagi catatan2 lama...]

dari note fb

No comments:

Post a Comment