Pages

Wednesday, July 27, 2011

A Cup of Memories

Ada seorang kawan yang menandai saya dalam catatannya, catatan tentang ayah. Saya jadi memikirkan Bapak. Tanggal 25 Juli lalu tepat dua bulan Bapak pergi, dan pastinya, kenangan-kenangan Bapak masih dapat saya ingat. Dan, karena tanggal 26 adalah hari lahir Bapak, maka mungkin adalah saat yang tepat bagi saya untuk menulis (setidaknya), hal-hal yang menghiasi perjalanan saya bersama Bapak selama lebih dari 22 tahun.

Kawan saya mengatakan,
"Bapak tak pernah pilih kasih. Namun dia punya pilihan tentang siapa anak yang paling dia percayai. Itulah anak yang paling dekat dengannya."

Itu juga yang terjadi pada saya. Saya khawatir akan benar-benar ditinggal jauh oleh Bapak kurang lebih sejak dua tahun lalu. Waktu itu kondisi kesehatan Bapak sudah menurun. Bapak yang biasanya menjemput saya ketika saya pulang ke Indramayu, waktu itu tidak lagi menjemput saya. Di kepulangan terakhir sebelum Bapak sakit, Bapak menjemput saya, seperti biasa naik becak langganannya. Bapak menceritakan banyak hal ketika berada di becak, salah satunya Bapak menceritakan bahwa sebelum menjemput saya tadi, beliau ke laboratorium, mengecek kesehatan. Katanya, besokpun hasilnya sudah ada. Bapak menceritakan dengan cerianya.
Saya tidak tahu kapan tepatnya saya menyukai diskusi-diskusi panjang bersama Bapak, atau pergi menghabiskan waktu berdua bersama Bapak. Yang pasti, dulu Bapak adalah orang yang saya takuti. Takut, bukan segan. Saya tidak menyadari kedekatan kami. Semenjak Bapak memutuskan mengambil pensiun dini, Bapak memang lebih banyak bersama kami, mengajak kami anak-anaknya untuk berjalan-jalan. Dan biasanya memang saya yang ikut serta. Saya baru menyadari kedekatan ini ketika suatu hari Mamah bercerita tentang seorang tetangga yang mengatakan bahwa Intan itu sayang banget ya sama Pak Iwo. Selalu ngegandeng tangannya kalau jalan bareng. Ternyata ada ya, yang memperhatikan kami!
Pada akhirnya memang, sayalah yang menemani Bapak mengambil hasil laboratorium. Takut dan ingin menangis, itu yang saya rasakan. Dan sehari setelah itu memang kondisi Bapak memburuk, sampai-sampai saya harus mengantarnya ke Trisi, tempat Bapak membuka usaha. Entah kenapa, bukan kakak saya yang lain, padahal waktu itu hampir semua anak Bapak berkumpul.


"Bapak biasanya punya satu anak yang khusus sika dia suruh-suruh. Bukan karena dia mau menyusahkan, tapi karena itulah anak yang dia percayai."

Saya pikir itu juga terjadi pada saya. Sebagai anak yang tidak ditakdirkan menjadi anak bungsu, saya menempati posisi strategis untuk disuruh-suruh oleh orang di rumah. Dulu saya berpikir saya bisa menyerahkan 'jabatan' itu ke Sekar, adik saya. Nyatanya, ketika Sekar ngambek tidak mau disuruh, Bapak atau Mamah melerai dan kembali mendaulat saya sebagai anak yang suka disuruh-suruh.
Di masa-masa SMA, ketika kendaraan di rumah kami hanya sepeda, saya diminta Bapak untuk menjadi kepanjangan tangan Bapak dalam menjalankan usahanya. Itu juga karena sayalah yang paling besar di rumah karena ketiga kakak saya sudah tinggal di kota lain. Setiap hari selepas maghrib (saya pulang sekolah jam 5 atau setengah enam saat itu), saya mengayuh sepeda beberapa kilometer untuk membantu Bapak, tentu dengan pembayaran layaknya 'profesional'. Lumayan untuk menambah uang saku untuk keesokan harinya. Dulu sempat terpikir, saya akan melanjutkan usaha tersebut dan berharap Bapak akan mewariskannya pada saya. :)

"Bapak akan dengan senang hati menceritakan tentang anak-anaknya pada teman-teman dekatnya. Itulah kenapa teman-teman dekat bapak tahu banyak tentang anaknya."

Ini hal yang paling sering Bapak lakukan. Di ruang tamu pada rumah kami yang dulu, Bapak sengaja memasang foto kami anak-anaknnya. Jadi setiap kali pelanggan Bapak datang, Bapak bisa menceritakan kami berlima.
Di kelas tiga SMA, Bapak dengan riangnya pergi menuju bank tempat dulu Bapak bekerja. Alasan utamanya adalah untuk membayarkan uang pendaftaran kuliah saya, namun untuk alasan kedua lah Bapak mengusulkan diri untuk menggantikan Mamah mengurusi urusan sekolah anaknya. Bapak ingin teman-temannya tahu kalau saya, anak keempat Bapak, juga akan kuliah.


"Caranya yang khas untuk membuat anak-anak mengenalnya adalah mengajak mereka ke tempat-tempat kesukaannya. Warung makan, pasar loak, dll."

Saya tidak ingat pasti apa tempat kesukaan Bapak, namun yang jelas, Bapak sering mengajak saya ke pelosok-pelosok Indramayu sewaktu Bapak masih menjadi pegawai bank. Bapak suka mampir ke pasar ikan yang aromanya sungguh tidak saya suka, ke laut, Pasar Mambo, ke kantornya. Itu mungkin karena Bapak ingin saya tahu aktivitas Bapak. Dan saya menikmatinya, meskipun dulu, seringkali saya tertidur di perjalanan pulang kami ke rumah.

"Di tempat itu, dia akan memilihkan makanan untukmu. Itulah makanan kesukaannya. Bapak tahu kelak anak-anak akan menyukai apa yang menjadi kesukaannya."

 Sepulang bekerja, Bapak biasanya membawakan makanan yang cukup aneh bagi kami. Bapak mengenalkan kami pada ubi cilembu yang dibelinya di tukang sayur dekat kantor Bapak. Bapak mengajak ke pasar ikan bukan karena Bapak menyukai ikan, tapi Bapak ingin kami anak-anaknya mengonsumsi ikan untuk memenuhi gizi kami. Tapi saya sama seperti Bapak, jadi saya ngadat tidak makan ikan. Di Pasar Mambo, Bapak suka membelikan kocar-kacir, makanan tradisonal yang disiram dengan cairan gula merah, kelapa parut, dan kacang hijau sangrai yang ditumbuk kasar di atas kue ketan. Makanan itu saya sukai, juga rumbah yang sering Bapak beli dari pinggir jalan DI Panjaitan.
Saat Bapak masih sehat, selepas subuh ia berjalan kaki  menuju Kampung Arab atau waduk, tempat biasanya pedagang-pedagang kue menjajakan dagangannya. Kami sering diajak (namun seringkali kami masih tertidur). Di sana, Bapak memilihkan berbagai kue, terkadang aneh bagi kami namun kami selalu menyukainya. bapak tampaknya seorang yang pandai memilihkan makanan untuk kami. Itu salah satu cara Bapak membangunkan kami dengan menyediakan sarapan yang luar biasa.

"Dia tak akan sungkan bolos ngantor demi menemani anak-anaknya."

Sewaktu masih jadi pegawai bank, yang saya tahu Bapak tak pernah membolos. Namun ia meluangkan waktu di akhir pekan untuk mengajak kami berjalan-jalan ke kota. Ia juga memutuskan mengambil pensiun dini ketika saya masih kelas dua sekolah menengah pertama, agar lebih bebas. Begitu alasannya. 

"Dia diam-diam sedih saat tahu bahwa dirinya tak mampu berbuat apa-apa lagi untuk anak-anaknya."

Saya menyadari hal ini setelah bulan syawal satu setengah tahu lalu ketika Bapak terkena stroke. Ia secara otomatis 'pensiun' dari aktivitasnya. bapak tidak lagi menjadi 'ujung tombak' kami. Bapak selalu menangis ketika kami, anak-anaknya, menceritakan sesuatu kepadanya. Dan ia, seperti yang dikatakan Mamah, mengatakan bahwa, Intan mah ga akan kebagian. Bapak melalui hari-hari yang sulit di rumah sakit. Saat itu, kakak ketiga saya hendak wisuda. Kami selalu membisikkan Bapak agar kuat dan bisa lekas sehat agar bisa menghadiri wisuda. Saya tahu Bapak berusaha keras, meskipun pada akhirnya, Bapak hanya menunggu prosesi wisuda tanpa pernah melihat kakak saya benar-benar diwisuda. Mungkin Bapak merasa sedih saat itu. Dan setelah wisuda kakak saya, lewat kata-katanya di atas tadi, Bapak seolah-olah telah yakin bahwa saya tak akan disaksikan Bapak saat wisuda nanti, pun sekedar menunggui sampai prosesi wisuda saya selesai.


"Dia menjadi orang pertama mengajari anak-anak untuk tegar menjalani hidup."

Boleh dikatakan bahwa keluarga kami bukanlah keluarga serba ada. Bapak berjuang demikian besar untuk membela kami, agar anak-anaknya ini dapat tercukupi kebutuhannya. Bapak tak pernah mengajari kami hidup mewah. Yang ia tahu, setiap hal membutuhkan proses. Maka ia membiarkan saya menjadi pedagang. Maka ia tak pernah melarang saya mengikuti beragam aktivitas. Ia tak pernah mengurusi masalah saya di sekolah karena ia ingin saya dapat menghadapinya sendiri. Bapak memberikan opsi bagi saya untuk masuk ke kelas biasa, namun karena keegoisan saya, pada akhirnya saya masuk kelas unggulan. Namun Bapak tidak marah atau melarang, ia membiarkan saya masuk ke lingkungan yang sebenarnya menjadi jalan terberat sepanjang masa SMA.


"Dia bahagia saat anak-anaknya bisa membuat keputusan sendiri. Tapi dia juga sedih karena itu berarti sudah waktunya untuk lepas. Dia mengajari anak-anak untuk mengambil keputusan. Padahal dia tahu bahwa itulah yang akan membuat mereka meninggalkannya. "

Bapak tidak memilihkan jurusan apa yang harus saya tempuh, pun memilihkan ke universitas mana saya sebaiknya masuk. Ia hanya menganngguk ketika saya bilang saya akan mengikuti PMDK UPI, jurusan Psikologi.
Ketika Bapak mendengar putrinya hendak diajak menikah, yang terbersit olehnya adalah baik tidakkah laki-laki iniApakah ia memiliki tato? Dan ia tidak memaksa putrinya untuk mengikuti apa yang sebenarnya Bapak kehendaki. Ia membiarkan putrinya mengambil keputusan sendiri. Karena ia tahu, putrinya telah dewasa untuk memutuskan kehidupannya sendiri.


"Saat bapak sadar bahwa sakitnya tak akan kunjung sembuh, dia pun membuat harapan terakhir."

Dulu, suatu hari di masa-masa sekolah menengah, saya membaca Al-Qur'an di ruang tamu. Bapak turut duduk di sana, yang ternyata mendengarkan apa yang saya baca. Dengan sebuah komentar sederhana, Bapak mengatakan ngaji saya tidak bagus. Itu harapan yang secara tidak langsung Bapak tanamkan pada diri saya untuk mempelajari Al-Qur'an, untuk dapat membacanya secara tartil. Bukan karena Bapak jagoan dalam membaca Al-Qur'an, justru karena Bapak ingin saya lebih baik dari dirinya.
Bapak sangat ingin melihat salah satu putrinya menikah. Saat kakak saya mengatakan ia akan menikah, Bapak langsung meminta kalender dan mencoret-coretnya. Coretan itu masih ada di balik kertas kalender . Coretan tentang tanggal untuk kakak saya menikah. Bapak memberi kenangan berupa tanggal bagi kakak saya. Setidaknya, meskipun Bapak tidak melihat pernikahan kakak, Bapak tahu kalau kakak akan segera menikah, di tanggal yang telah Bapak siapkan.
Setelah Bapak pergi, Mamah mengatakan bahwa Bapak pernah mengutarakan keinginannya untuk dapat membaca surat Al-Mulk, namun sampai penghujung, Bapak belum sempat mempelajarinya. 



Bapak, rasanya tidak mungkin memenuhi cangkir ini dengan kisahmu. Namun, engkau tentunya akan menikmati secangkir teh dibanding segelas kopi yang saya hidangkan. Maka saya tahu, secangkir kisah ini mungkin akan lebih kau sukai.
Tanjobi omedetto, otoosan. 
untuk Bapak yang namanya tertera pada nama saya.