Pages

Saturday, September 17, 2011

Pekerja Sosial?

Jangan, jangan menyalahkan karena mungkin kitapun tak bisa berjiwa ksatria atau berhati mulia. Sepertinya beberapa hari ini Allah benar-benar ingin saya belajar. Iya, belajar. Saya menegarkan hati untuk mengerjakan skripsi saya di Indramayu. Sudah saya plotkan hari Ahad sampai Selasa akan saya lalui di Indramayu, selama satu bulan mungkin. Karena rencana inilah, saya menyeleksi beberapa amanah agar dapat fokus mengambil data. Saya bergabung dengan tim konseling di RS. Bhayangkara, salah satu rumah sakit di Indramayu yang menjadi rujukan bagi VCT atau konseling khusus HIV/AIDS. Jarak dari rumah menuju rumah sakit tak kurang dari puluhan kilometer, dengan waktu tempuh empatpuluh lima menit tanpa hambatan. Ya, pada akhirnya saya benar-benar menikmati jalur pantura. Saya, yang memiliki kenangan tersendiri dengan rumah sakit harus benar-benar siap secara lahiriah. betapa tidak, rumah sakit memiliki aroma yang khas yang kadang memaksa saya untuk menahan napas beberapa saat. Kawan, ternyata di sinilah Allah ingin saya belajar. Saya memang orang Indramayu asli, namun saya tidak mengenal Indramayu. Dan karena hal itu, saya tersindir berat ketika ibu konselor yang menemani hari-hari saya di sana bercerita banyak tentang kondisi Indramayu, tentang kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di Indramayu. Oh Tuhan, saya sendiri tak habis pikir, ternyata banyak juga kasus yang terjadi! "Walaupun di sini banyak tenaga kesehatan yang dilatih VCT, tetap saja setiap ada kasus baru akan dirujuk ke sini. Sementara di sini, konselor VCT ya hanya saya. Padahal di beberapa puskesmas sudah ada tenaga konselor VCT." ujar ibu konselor. Saya hanya manggut-manggut. Menurut A Ipang, aktivis MCR Indramayu ketika saya SMA dulu, konselor VCT di Indramayu baru satu orang, ya si ibu ini. Ternyata banyak. " Saya kadang bingung, saya yang bukan orang asli Indramayu saja mau menjalani ini semua. Sementara putra daerahnya mana?" deg, saya tersindir. *** Saya jadi memikirkan untuk beraktivitas di Indramayu saja. Mungkin. *** Beberapa waktu lalu, begitu saya menginjakkan kaki lagi di Bandung, seorang rekan mengajak saya ke Dinas Sosial di Cimahi sana. Katanya untuk menemani. Nyatanya, sesampai di sana kami berdua dipisahkan dan masuk ke ruangan yang berbeda untuk mengikuti kegiatan yang berbeda. Saya melongo. Apa-apaan ini? Begitupun kawan saya. Kami sama sekali tidak tahu, ada agenda apa di Dinsos. Maka, dengan ketidaktahuan kami, kami ikuti saja lur kegiatan yang ada. Kami ditanya macam-macam, karena status kami sebagai pekerja sosial di P2TP2A. Lha, saya bukan peksos (pekerja sosial, red) kok saya hanya relawan, tapi rasanya memang tidak berbeda tugasnya... Tapi saya jalani saja dan banyak hal yang saya dapat dari diskusi bersama rekan-rekan peksos dari berbagai lembaga yang hadir saat itu. Seorang peksos yang sebenarnya tidak mengambil pekerjaan lain di luar pekerjaannya sebagai peksos, tidak mendua. Otak saya mencerna kata-kata tersebut, bagi saya sungguh luar biasa kalau memang ada orang macam itu. Bisa kau bayangkan, berapa imbalan yang didapat dari seorang peksos? Sementara pekerjaannya mungkin segudang, pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan. *** Sore itu, hari kesekian setelah saya kembali ke Bandung, banyak hal yang memenuhi pikiran saya. Hal itu seperti skripsi dan segala atributnya, yayasan, P2TP2A, dan rumah. Akhirnya selepas shalat Maghrib, saya berbincang dengan seorang kawan di shelter. Obrolan tentang kondisi skripsi saya pada awalnya, dan merembet ke hal-hal lain berkaitan dengan pekerjaan. Kami berdua adalah relawan, baik di P2TP2A maupun di yayasan. Dulu sayapun menjadi relawan di 25 Messengers, juga sempat secara tidak langsung dianggap relawan MCR Jawa Barat. Apa yang istimewa dari seorang relawan? Hm, saya hanya senang menjalaninya, itu saja. Kebetulan kawan saya itu juga baru saja diterima sebagai relawan untuk Pertemuan Nasional HIV/AIDS dan sempat menjadi relawan yang berangkat ke Merapi beberapa waktu lalu. Maka obrolan kami mengarah-arah ke situ. Kawan saya ini mengklaim dirinya tidak begitu memiliki jiwa sosial, semua dijalani lantaran ingin saja. Ia bercerita bahwa di luar sana, di tempat yang tidak kita tahu, ada orang-orang yang benar-benar mendedikasikan diri untuk kehidupan sosial. Ada bidan yang berhasil membangun sebuah desa terpencil, yang pada awalnya tidak mendapat penerimaan baik dari masyarakat. Ada seorang pilot yang langsung tergerak hatinya untuk menolong korban bencana, dan, sama seperti bidan yang tadi saya sebutkan, juga mengalami penolakan dari masyarakat, baru beberapa bulan kemudian masyarakat mau menerima santunannya. Dan banyak lagi orang yang melakukan hal-hal luar biasa yang sama sekali tidak di kenal di luar sana. Sementara kami? *** Saya sudah beranjak tidur, seperti biasa, dengan earphone terselip di telinga saya, ketika tiba-tiba handphone saya berbunyi. Duh, sudah jam sebelas malam! Siapa orang yang tiba-tiba menelepon, seperti tidak ada waktu lagi saja! Ternyata atasan saya. Ia bilang kalau malam ini akan datang korban trafiking. Hm, saya hanya menahan-nahan perasaan saya. Kesal sesungguhnya, apa tidak bisa besok saja? Ini sudah larut malam! Saya hanya sempat tidur satu jam, ketika lagi-lagi ada telepon masuk. Pak satpam yang menelepon, katanya orang dari Polda sudah datang mengantarkan korban. Saya melirik jam, gila! Sudah jam satu dini hari! Dengan tersungut-sungut, saya menemui mereka di kantor. Seorang gadis seumuran adik saya sedang duduk di teras kantor bersama bapak dan ibu dari Polda. Saat itu, rasa kantuk sudah mulai saya singkirkan, dan rasa kesal saya harap cepat-cepat terhapus. *** Saya membayangkan seorang dokter atau bidan yang bisa mendapat pasien di waktu-waktu tak terduga. Mungkin ada yang langsung melakukan pelayanan terhadap pasien tersebut dan menahan-nahan egonya sendiri untuk bersitirahat. Mungkin ada juga yang seperti saya, melakukan dengan setengah hati. Dan mungkin pula ada yang langsung menolak, dan berkata "Besok saja datang ke sini lagi" Menjadi seseorang yang mengikhtiarkan diri untuk membantu sesama memang tidak mudah, dan tidak akan mudah, dan hanya orang-orang tertentu saja yang mungkin dapat melakukannya sepenuh hati. #sebuah renungan bagi diri sendiri