Pages

Thursday, March 31, 2011

Episode Ayah

Akhirnya ibu pulang juga. Well, kupikir aku bisa langsung mengemasi beberapa barangku dan langsung menuju terminal, menunggu bis yang akan mengantarku ke Bandung. Hari kian beranjak, matahari pun telah lewat dari batas waktu dhuha. Aku menunda keberangkatanku ke Bandung karena ibu pergi lagi, kali ini untuk membeli makan siang bagi kami, maksudku, bagi aku, ayah, ibu, dan tentu saja adikku yang saat itu masih berada di sekolah. Semenjak nenek meninggal dan ayah tidak lagi bekerja, ibu sudah jarang memasak. Ia memilih membeli lauk saja karena di rumahpun sudah sepi. Hanya tinggal ayah, ibu, dan juga si Neng sementara aku hanya sesekali saja menyempatkan pulang di antara sekian banyak aktivitasku di Bandung.

Ibu belum juga pulang. Aku terpekur menatap jauh ke jalan dari jendela kamarku. Dulu, tepat di bawah jendela ini ada kolam ikan yang gemericik airnya selalu mendamaikan hatiku yang sering carut marut. Dulu, ikan-ikannya sering kuajak tertawa, mungkin karena itu mereka mati satu-persatu. Sekarang mana ada ikan-ikan lagi di sana, airnyapun sudah kering seiring musim kemarau yang tak jelas kapan berakhirnya. Yang masih setia menemani kesunyian kolam itu hanya guguran daun dari pohon mangga yang terus meranggas. Katanya, kalau sudah begitu, berarti akan segera berbuah lagi. Kuharap memang seperti itu, aku sudah lama rindu ingin memakan mangga dari pohon yang semenjak kami tinggal di rumah tua itu sudah berdiri. Jadi memang usianya sudah jauh lebih berumur daripada aku.

Tiba-tiba kudengar suara ayah. Terbatuk. Ah, paling ayah cuma tersedak seperti biasa! Ayah nggak sabaran sih, kalau minum! Maka aku tetap diam menikmati sepoi angin laut yang masuk lewat jendela kamarku. Semenit, dua menit, lima menit. Suara ayah tetap terdengar. Bukan, bukan batuk. Ayah muntah. Namun aku masih terdiam, sebenarnya menunggu. Biar ayah keluarkan dulu semuanya, nanti aku bersihkan. Pikirku saat itu, muntah tak akan pernah lama kan? Nyatanya, ayah masih saja muntah. Terus menerus sampai yang dikeluarkannya hanya ludah. Kulihat ayah, tubuhnya berkeringat basah. Aku bergegas mengambil kain pel, mengepeli sisa-sisa muntahan ayah dan ayah masih terus muntah.

“Masya Allah… ayah kenapa?” seru ibu sembari menutup pintu. Ayah tidak menjawab apa-apa. Ikan bakar yang dibeli ibu digeletakkan begitu saja di meja ruang tamu. Ibu langsung ambil alih pekerjaanku. Aku membuat teh hangat untuk ayah, dan mengambilkan minyak kayu putih, mengoleskannya di tengkuk ayah yang dingin, supaya terasa hangat.
Ibu kemudian memapah ayah ke kamar, menyelimutinya dengan selimut tebal dan segera, selimut itu basah. Ayah berkeringat banyak. Aku mengelapi wajah ayah dengan handuk, yang kulakukan dalam diam.

“Ayah kenapa, Nok?” tanya ibu. Aku mengangkat bahu.
“Udah dari tadi?” lanjut ibu. Aku mengangguk.
Ibu merapal doa-doa, kuikuti gerakan bibirnya. Ibu memang suka berdoa. Ayah sedikit tenang, perutnya sekarang kempis. Mungkin karena isinya sudah keluar semua.
“Ayah mau minum?” tanyaku. Ayah menggeleng. Air teh yang kubuat menjadi dingin, tak tersentuh oleh bibir ayah.

Pukul 14.00 saat itu. Bis pasti sudah berangkat. Huuuffff… aku hanya bisa menghela nafas, mungkin aku bisa mengejar bis terakhir ashar nanti. Mudah-mudahan, karena besok aku harus mengajar.

“Nok, ke Bandungnya nanti aja ya? temenin ibu, sampai ayah baikan. Nggak apa-apa ya?” ujar ibu, yang membuatku merasa tak enak. Di satu sisi, aku ingin segera berangkat untuk menuntaskan beberapa amanah yang kutinggalkan, juga untuk membaca bahan ujian. Harusnya kemarin aku ujian, sekarang aku harus ikut ujian susulan.
“Iya Bu.” Begitu saja kujawab. Aku selalu reflek menjawab iya setiap ibu memintaku melakukan sesuatu. Iya, beberapa bulan ini aku menjadi seperti itu. Ya Allah, semoga ayah segera baikan. Harapku dalam hati.

Aku tidak makan, ibu juga begitu. Ayah apalagi. Aku dan ibu duduk di samping ayah yang berbaring, sesekali kuseka keringatnya sementara ibu sibuk mengepel lantai berkali-kali. Ayah kembali muntah-muntah. Kali ini muntahnya berwarna pekat, hampir hitam. Aku tak berani berkomentar, hanya menahan-nahan emosiku jauh di sudut hati sana. Bukan, ini bukan apa-apa kok. Aku menegarkan hatiku.

“Ini apa ya, Nok?” tanya ibu. Kupandangi ibu yang tengah mengamati muntahan ayah.
“Oo… itu kecap mungkin, Bu. Tadi pagi ayah kan makan nasi lengko, mungkin kebanyakan kecap…” ujarku, padahal aku tahu itu bukan kecap.
“Iya kali ya…” ibu membuang muntahan ayah. Ayah tersengal, kelelahan. Kuseka lagi keringat di kepalanya yang kian jauh dari rambut. Ayah sudah tua.

Ashar terlewati, aku positif tidak akan kembali ke Bandung hari ini. Biar saja, saat ini keluarga membutuhkan kehadiranku. Sementara itu ayah masih seperti semula, malah semakin menjadi muntahnya. Aku terjaga di samping dipan ayah. Ibu sedang shalat, berdoa lagi, berdoa sepenuh hati untuk ayah.

Ayah menatapku, air mataku sudah menggantung maka aku tak balas menatapnya. Ayah meraih tanganku, keringatnya masih kurasa di telapak tangannya. Kutahan air mataku untuk ayah, maka kuberanikan diri menatapnya.

“Ayo, Ayah! Mana dzikirnya? Yang tadi ibu bilang itu lhoo… apa coba?” aku malah berubah menjadi kekanak-kanakan di hadapan ayah. Ayah masih menatapku. Pandangan matanya tak lagi setajam dulu. Mata ayah sendu, sayu. Ayah kehilangan kegagahannya dulu, kegagahan yang selalu kusambut dengan rengekan minta digendong setiap kali ayah pulang kerja. Kegagahan yang dulu kujadikan tempat berlindung setiap kali aku ketakutan, kegagahan yang dulu menggendongku ke kamar setiap aku terlelap di lantai saat menonton televisi.

“Laa… ilaaha i…illa a..ant.. ta subhaana.. ka i.. inni k.. kuntum.. minnadz dzaa… limiinnn..”
“Yaa Allaah… Yaa rahmaa…nn.. Yaa naaa…shiiirr…” ayah berucap dengan terbata, sekuat tenaga, tetap sambil menggenggam tanganku. Aku menahan-nahan agar air mataku tak jatuh. Ya Allah, aku ikhlas…

“Ee… mang a appa a..artinya?” tanya ayah. Aku makin tak sanggup lagi membendung luapan air mata, mungkin sebentar lagi bendungan air mata ini akan roboh dan alirannya akan menggenangi setiap sudut wajahku. Ya Allah, kalau harus sekarang, aku siap… kalau harus sekarang, aku rela. Karena ayah sedang mengingat-Mu. Ya Allah, tidak apa-apa. Aku memalingkan wajah sejenak, agar ayah tak melihatku tengah menyeka air mata.

“Artinya, tidak ada tuhan selain Allah sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim… ya Allah yang Maha Pengasih, yang Maha Pemelihara..” aku mengusap air mata, mencoba tersenyum meski berat.
“Tuh Yah, artinya bagus ya! Yuk diterusin lagi dzikirnya!” kulihat ayah tersenyum. Ya Allah benar, aku tidak apa-apa kalau ayah memang harus Kau panggil sekarang.

Ibu sudah selesai shalat, ia mengganti selimut ayah dan mengelap tubuh ayah. Ayah memandangi ibu, lantas menyentuhkan tangannya yang dulu kekar ke wajah ibu.
“Ibu tua ya!” ayah mencoba tertawa. Ibu tertawa, namun aku terharu.

Maghrib, ayah masih belum memasukkan apa-apa ke lambungnya, tidak pula sekedar air putih. Aku dan ibu kalut. Si Neng di kamar, mungkin tak tega melihat kondisi ayah yang turun drastis semenjak beberapa pekan lalu harus dirawat di rumah sakit. Aku dan ibu mengaji di dekat ayah, sesenggukkan.

“Yah, ke rumah sakit aja ya?” ujar ibu tiba-tiba. Kupikir ada benarnya, supaya ayah bisa diinfus jadi tetap ada nutrisi yang masuk ke tubuhnya. Ayah menggeleng, tak mau merepotkan katanya. Aku dan ibu semakin berpikir yang tidak-tidak. Ibu menelepon dokter yang tinggal tak jauh dari rumah. Dokter memeriksa ayah, sebentar. Lantas keluar dari kamar ayah, aku mengikuti. Dokter diam saja, aku jadi semakin cemas.

“Ayah kenapa, Dok?” kuberanikan bertanya. Dokter menatapku sesaat.
“Gimana kalau dibawa ke rumah sakit aja, ayahnya Mba?” sudah kuduga.
“Iya sih Dok, saya sama ibu juga maunya begitu tapi ayahnya nggak mau. Kalau bisa, obat aja, Dok…” maka sang Dokterpun menuliskan resep obat.

Namun ayah tak menyentuh obat itu, juga tak menyentuh ikan bakar yang tadi siang ibu beli. Ayah belum makan apa-apa, belum minum apa-apa. Dan ayah tetap seperti itu. Aku dan ibu menunggui ayah sampai ibu menyuruhku tidur, dan sebenarnya aku tidak bisa tidur.


31 Maret 2011
0840 pm

Wednesday, March 09, 2011

Pertama, yang Terakhir

Aku masih bermalas-malasan saat itu. Seperti yang kau tahu, itu yang selalu kulakukan, setiap pagi, setiap kali aku pulang. Dan kaupun biasanya seperti itu.
Kau tiba-tiba saja bergumam, menyuarakan sesuatu yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kau tahu, sayang? Aku merelakan kantukku pergi, agar aku dapat bersamamu pagi ini.

Ingin jalan-jalan, ujarmu. Dan aku bergegas mengganti pakaianku, menawarkan diri untuk menemanimu melalui pagi, dari sini. Dari tempat yang tak lama lagi akan kita tinggalkan.

Dan kita memang berjalan, mensesapi tiap belaian udara. Menunjuk bintang fajar yang rupanya masih bertengger di langit. Menikmati orang-orang yang hilir mudik ke pasar. Duduk memandang jauh, pada buih-buih air yang menghentak-hentak waduk.

Dan kita memang berjalan. Dan kau berjalan dengan cepatnya ketika melewati kandang sapi itu, dan aku terantuk batu berkali-kali. Kau tertawa, puas. Dan aku ingin sekedar merangkulmu.

Dan kita menghampiri pedagang kue itu, tempat kedua orang tua kita selalu membelikannya untuk kita setiap pagi. Lalu kita menyusuri kota, mencari nasi jamblang yang kita rindukan. Dan kita membawanya pulang, kupikir akan menyenangkan seandainya kita bisa sarapan bersama di rumah bercat hijau itu.

Kau tahu, sayang? Ini pagi yang meninggalkan senyum di hatiku.




mengingat pagi terakhir di sana, dan untuk pertama kalinya kita melalui pagi bersama
(6 Maret 2011)
Sekar Indira Kuswoayuning

9 Maret 2011