Pages

Thursday, October 06, 2011

Catatan Malam: Bapak Guru

Mungkin terkesan cengeng sekali, tapi saya (memang) jadi ingat Bapak. Kabar mengenai salah seorang guru SMA saya yang jatuh sakit memang sudah lama saya dengar, maka ketika beberapa pekan lalu saya pulang ke Indramayu, saya sempatkan untuk menengok beliau di kediamannya, kediaman yang ia tinggali seorang diri. Betul lah kiranya, guru saya yang satu ini berjuang sendiri melawan sakit yang tak diketahui dari mana mulanya, sementara keluarganya tinggal di Bandung. Saya jadi terenyuh sendiri ketika melihat para tetangga Bapak Guru datang silih berganti sekedar mengantarkan makanan, ataupun menanyakan kabar beliau hari itu. Lantas melalui facebook, saya mengetahui perkembangan kesehatan Bapak Guru, nyatanya tak semakin membaik. Setelah saya menengoknya hari itu, hanya jeda satu hari saja, Bapak Guru dilarikan ke sebuah rumah sakit di Kota Cirebon, dirawat di sana selama hampir sepekan. Dan baru-baru ini, Bapak Guru dibawa ke RSHS, katanya untuk menjalani operasi. Siswanya, hampir dari setiap angkatan, mengumpulkan uang untuk membantu biaya pengobatan Bapak Guru. Dan hampir tiap hari, ada saja siswa yang menengok beliau. Mungkin itulah, mengapa seorang guru menjadi sebuah profesi yang sangat istimewa bagi saya. Kemarin sore, tiba-tiba saja saya ingin sekali menengok beliau. Rasanya tega sekali kalau saya yang tinggal tak jauh dari RSHS sama sekali tak menyempatkan diri untuk bersua, atau sekedar 'menularkan' senyum ke Bapak Guru ini. Maka saya menghubungi beberapa kawan untuk bersama-sama ke RSHS, walaupun hanya satu orang yang akhirnya menanggapi karea kawan-kawan yang lain berencana menengok hari Ahad nanti. Jadi, pukul tujuh malam itu, saya meluncur menuju RSHS. Bapak Guru yang saya lihat lebih kurus dibanding ketika saya menengok di rumahnya beberapa pekan lalu. Selang-selang terhubung ke hidung dan lengannya. Duh, saya tak tega melihatnya. Di samping Bapak Guru, duduk wali kelas saya ketika SMA, sedang tilawah. Beliau menghentikan tilawahnya melihat saya dan kawan saya datang. Kami menyalami Bapak Guru, yang jemarinya tak lepas dari tasbih. Kami tersenyum. Setelah mengobrol ke sana-kemari, kami kehabisan bahan pembicaraan. Saya duduk di sofa, melihat ke arah Bapak Guru, dan tiba-tiba saya ingin tilawah. Ibu wali kelas saya menyediakan kursi di samping ranjang Bapak Guru, mempersilakan saya duduk di sana dan sayapun duduk bertilawah. Bapak Guru memejamkan matanya. Membaca Yasin macam ini mengingatkan saya ketika menunggui Bapak saat dulu dirawat di rumah sakit, maka saya menangis. Saya menyelesaikan tilawah saya, Bapak Guru membuka matanya kembali. "Bapak istirahat aja ya, tidur..." ujar saya pelan. Bapak Guru menggeleng. "Tadi Intan baca apa?" tanyanya. "Baca Yasin, Pak. Maaf, bacaannya jelek ya?" Bapak Guru menggeleng lagi. "Nggak. Bagus kok..." deg, saya jadi semakin ingin menangis, teringat Bapak yang belum pernah mengatakan hal itu ketika saya tilawah. "Bapak mau dibacain surat yang lain?" "Cukup..." "Nanti di rumah, Intan tilawah lagi buat Bapak ya?" Pak Guru mengangguk. Keluarga Bapak Guru, wali kelas dan kawan saya kini berkumpul di sekitar ranjang Bapak Guru. Melihat Bapak Guru yang belum tidur juga, mereka menyuruhnya tidur. Di luar dugaan, Bapak Guru mengatakan "Tadi udah tidur, pas Intan ngaji..." Wahai Allah, Engkaulah yang menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di barat, Engkaulah yang menopang gunung-gunung sehingga ia kokoh dalam kuasaMu. Engkaulah yang menenangkan gemuruh badai, Engkaulah yang menjaga setiap makhluk dalam lingkup kuasaMu... Wahai Allah, lapangkanlah hati Bapak Guru untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam tiap takdir yang Engkau gariskan padanya... Saya menangis lagi, menangis lantaran melihat Bapak Guru yang membawa ingatan saya pada Bapak. Menangis lantaran belum memenuhi amanat Bapak untuk memperbaiki tilawah saya yang tak baik itu. Menangis lantaran ada yang tertidur ketika saya bertilawah... 5 Oktober 2011