Pages

Tuesday, November 08, 2011

Sirkus Emosi

Maaf, judul tulisan ini memang terinspirasi oleh sebuah buku dengan judul yang sama, Sirkus Emosi, sebuah kumpulan cerpen karya alumnus Psikologi UI. Saya harap memang menggambarkan apa yang akan saya tulis. Rasanya sudah lama juga tidak menulis. Awalnya memang menghindar untuk menulis di facebook, blog ataupun jejaring sosial lain, namun pada akhirnya saya memang membiarkan diri saya untuk tidak menulis beberapa bulan ini, dalam artian tak satupun karya tangan saya lahir. Kalaupun ada, itu hanya sebatas update status pada akun jejaring sosial saya, atau sebuah pesan singkat yang saya kirim kepada rekan-rekan via nokia saya, atau lanjutan bab dua skripsi, atau laporan-laporan dan bahan mengajar. Sungguh, saya pikir memang suatu kenikmatan tersendiri ketika kita diciptakan dengan kaki yang berjumlah dua (baca: sepasang), dan tangan yang juga berjumlah dua. Saya berpikir, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk mengkoordinasi perintah otak ke kedua kaki atau tangan, dibandingkan ke tiga atau empat kaki dan tangan. Secara, saya memang hanya mengalami memiliki dua kaki dan tangan! Namun sungguh, sepertinya memang Allah sengaja menciptakan keergonomisan tersendiri pada tubuh kita, agar kita nyaman dengan jumlah ataupun ukuran dan bentuk masing-masing bagian tubuh. Itu saya rasakan beberapa pekan ini, dengan aktivitas yang sebagian besar waktunya saya habiskan di sekolah. Lucu bagi diri saya sendiri ketika menyadari apa yang saya lakukan dari hari ke hari berikutnya. Pagi saya menggunakan "topeng" sebagai seorang guru sekolah dasar, siang mengganti topeng guru yang saya punya dengan topeng seorang pendamping di lembaga perempuan dan anak, dan terkadang di sore hari, saya harus menggunakan "topeng" sebagai volunteer di sebuah yayasan sosial. Saya berdiri di atas tiga kaki. Eh, bukan tiga! Banyak! Yuk kita hitung! Saya ini seorang anak, seorang adik yang sekaligus kakak bagi adik saya, mahasiswa, anggota masyarakat (ceileee), anak kosan, dan lain-lain. Tidak mungkin kan, saya pakai topeng “kakak” ketika berhadapan dengan ibu kos? Benar, terkadang rasanya ingin pergi ke suatu tempat terbuka. Sendiri saja dan benar-benar jauh dari alat komunikasi. Namun lantaran tak kunjung menemukan waktu yang tepat untuk melakukan upaya flight, maka mungkin saya melakukan katarsis ini saja. Hahaha, tak apa tak bisa kabur, membayangkan untuk menikmati udara segar nun di bebukitan sanapun sudah membuat saya relaks. Hmm, sekarang saya ingin tertawa (dan sedang tertawa) mengamati diri saya sendiri. Kalaulah boleh saya katakan (dan memang akan saya katakan), rasanya lucu. Di pagi hari saya harus bisa tampil fresh di depan murid-murid saya. Kau tahulah bagaimana lincahnya murid kelas satu sekolah dasar! Tak mungkin saya mengawali hari di hadapan mereka dengan memasang tampang bĂȘte lantaran emosi saya yang sedang kurang bagus. Dan terkadang, seberapapun saya ingin marah karena tingkah polah murid-murid saya, saya harus bisa mengemasnya dalam konteks pendidikan. Huff, ini agak sulit. Men-setting hati kita untuk senantiasa bersabar dan menasehati dengan jalan yang makruf memang agak sulit, apalagi untuk orang dengan kepribadian seperti saya! Bukan hanya di hadapan murid-murid saja saya harus tampil “prima”. Di hadapan para orang tua murid yang setia menunggui putra-putrinya belajar sampai pukul tiga sorepun saya harus tampil oke, alias profesional. Susahnya jadi public figure! Oke, mari dilanjutkan. Untungnya di bulan Ramadhan jam sekolah hanya sampai dzuhur, jadi saya bisa melakukan aktivitas lain, yang artinya saya harus menyiapkan topeng lain, dengan emosi yang tentu saja berbeda. Dan itu menuntut saya melakukannya sesegera mungkin. Entah jadi pendamping atau jadi volunteer, atau jadi mahasiswa tingkat akhir yang kebakaran jenggot menyelesaikan skripsi. Dan tetap, saya harus menyimpan dulu kondisi emosi saya sesungguhnya agar bisa tetap profesional, dan seringkali saya gagal. Rekan-rekan saya bisa dengan mudah menebak sedang dalam kondisi emosi apakah saya saat itu. Payah. Mungkin karena begitu sulitnya menyimpan “gejolak emosi” dalam hati saya, saya tidak Allah takdirkan jadi entertainment yang kerap muncul di televisi. Ah, hidup. Lucu. Nikmat. Dan selalu punya tantangan untuk dihadapi. Mungkin banyak juga yang mengalami hal seperti apa yang saya alami. Mungkin bagi saya hidup itu seperti sirkus. Di mana kita, para pemainnya, memiliki peran masing-masing, terkadang memerankan beberapa peran lantaran terbatasnya anggota sirkus. Tentu saja, setiap peran memiliki tuntutan karakter dan emosi yang berbeda, yang bisa membuat penonton sirkus menikmati pertunjukan. Setiap pemain sirkus yang memiliki peran berbeda itu harus sigap mengganti topeng emosinya, lalu emosi pemain sirkus itu sendiri bagaimana? Di-manage kalau orang organisasi bilang. Hm, sulit ya? Tapi nikmati saja karena kita manusia yang hidup dalam masyarakat! Saya juga sama kok, sama-sama sedang berusaha menjalani hidup sebaik mungkin. Mungkin hati kita saja yang perlu disiapkan dengan amunisi sebanyak mungkin, amunisi yang membuat hari-hari kita berjalan dengan tenang, meski banyak ujian yang menyulut amarah dan kawan-kawannya. Meski banyak topeng yang harus bergantian kita pakai (asal hati kita jangan dipakaikan topeng juga). Apa amunisinya? Yuk kita temukan sama-sama! Saat malam terbagi menjadi tiga, dan saya berada di penghujung. Ramadhan, 2011

Monday, November 07, 2011

I Fell in Love with You the Moment I First Saw You

Hm, entah kenapa tiba-tiba saya ingin menuliskan tentang seseorang, seseorang yang membantu kita dalam mewarnai jalan-jalan kehidupan yang kita lewati. Mungkin kejadian di hari itu meninggalkan bekas di hati saya. Hari itu seperti biasa, kantor agak sepi namun aktivitasnya tetap saja crowded. Pada jam istirahat yang bertepatan dengan waktu dzuhur, saya dimintai tolong untuk menjagai Nafiz, putra salah seorang ibu pengurus yang belum genap berusia satu tahun. Nafiz saya gendong mengitari mushola, sementara umminya tengah shalat. Sejak terlepas dari rangkulan umminya, Nafiz terus menangis. Saya tentunya agak kewalahan juga lantaran tak terbiasa ngemong anak sekecil Nafiz. Sesekali, saya biarkan Nafiz merangkak. Ia memang sedang belajar merangkak. Tak disangka, ia merangkak kencang menuju umminya, menarik mukena yang digunakan umminya. Melihat kejadian itu, saya menggendong Nafiz kembali, berharap bisa membuat Nafiz tertidur. Nafiz berhenti menangis, saya pikir ia tidur tapi tak lama kemudian terdengar lagi suara tangis Nafiz. Duh dek ganteng, jagoan kesayangan ummi… sing sabar ya… umminya lagi shalat dulu. Dek Nafiz sabar yaaa… begitu terus saya membisikkan Nafiz. Nafiz tetap menangis sampai umminya selesai shalat. Ia saya biarkan merangkak. Saya mengamati Nafiz dari jauh ketika ia mulai mendekati umminya, menyentuh umminya, dan duduk di pangkuan umminya. Ia tidak lagi menangis, malah tersenyum-senyum. Sepertinya ia gembira sekali. I fell in love with you the moment I first saw you. ******************************************* Mungkin, dulu kita pun seperti itu: tak berdaya dan sangat bergantung. Iya, mungkin dahulu, tanpa kita sadari, kita begitu lekat dengan ibu kita sampai-sampai kita akan menangis sejadi-jadinya kalau dijauhkan darinya. Iya, dulu kita memang seperti itu, merasa tenang apabila ada ibu di sisi kita, merasa aman ketika ia merangkul kita, menggendong kita. Tanpa kita sadari, kita telah mulai membangun makna cinta, kita telah ‘jatuh cinta’ pada sosok yang selalu ada untuk kita tersebut. Sosok yang selalu terjaga sepanjang malam ketika kita tidur dengan gelisah atau untuk sekedar mengganti popok kita yang basah. Ialah ibu, yang telah menanamkan cinta, bahkan sebelum ia sendiri dapat melihat sosok kita. Ibu. Seseorang yang pertama kali memilihkan pakaian terbaik untuk kita, yang ketika kita beranjak dewasa tak lagi kita pedulikan pilihan-pilihan yang ia tawarkan untuk kita. Ibu, seseorang yang berhati-hati memilih makanan yang sesuai dengan perkembangan kita, yang ketika kita dewasa, kita lebih menyukai makanan yang dibuat oleh orang lain, yang tentunya tanpa bumbu cinta yang hanya dimiliki oleh ibu kita. Ialah ibu, seseorang yang membantu kita melangkah dan membantu kita bangkit ketika kita jatuh. Namun ketika usia kita beranjak, kita menganggap ibu terlalu ikut campur dengan masalah pribadi kita. Ialah ibu, yang selalu mengantar kita sekolah dan mengusap air mata ketika kita menangis lantaran diganggu teman. Kini, kita merasa itu semua tak pernah terjadi, bahkan tak jarang kita ragu untuk sekedar menyisihkan waktu untuk mendengarkan cerita hidupnya yang seringkali tak mudah. Karena kita tak pernah mengingat, bahwa ialah orang pertama yang kita cintai sebelum teman-teman atau pasangan hidup kita hadir. Karena kita enggan untuk mengasah hati kita untuk membaca perasaannya terhadap kita. Ialah orang yang cintanya selalu kita khianati dengan sederet alasan kesibukan kita, dengan alasan ibu terlalu rewel dan tak pernah mengerti apa yang kita mau, dengan alasan yang seringkali kita buat-buat. Kawan, ada pertanyaan yang selalu mengangganggu saya sebenarnya. Mengapa kita lebih mudah marah kepada ibu kita, dibanding marah terhadap teman yang justru lebih sering mengecewakan kita? Mengapa kita sulit untuk memaafkan kesalahan ibu kita, padahal di bawah kakinyalah syurga yang dijanjikan Allah itu ada? Bukankah selayaknya kitalah yang harus lebih sering meminta maaf padanya atas keacuhan dan keangkuhan yang kita lakukan? Keacuhan lantaran kesibukan kita, keangkuhan lantaran kondisi kita sekarang sudah lebih baik dan lebih mandiri sehingga menganggap kita tak lagi membutuhkan sesosok ibu? *************************************** Saya baru menyadari hal itu ketika melihat Nafiz. Dulupun kita seperti Nafiz, tak berdaya dan sangat bergantug pada ibu. Dulupun kita seperti Nafiz, memiliki perasaan aman terhadap ibu yang mungkin bisa diartikan sebagai perasaan cinta. Mom, I fell in love with you the moment I first saw you. Atau bahkan mungkin, perasaan cinta itu sudah tumbuh, bahkan ketika kita masih di dalam rahimnya karena kehangatan dan keamanan yang hanya dimiliki oleh sosok bernama ibu. Seperti kalimat yang saya kutip dari savage Garden berikut ini, I knew I love you before I met you. 10 Dzulhijjah 1432 H.

Wednesday, November 02, 2011

Bandage!

Hahahaha... Rasanya masih ingin tertawa kalau ingat kejadian hari ini. Karena perihal apakah gerangan? Hft. Begini, malam itu saya baru sadar kalau tangan saya masih sakit, rasa sakit yanng sebenarnya sudah saya rasakan sejak hari Kamis atau Jumat. Namun lantaran perhatian saya teralihkan oleh hal lain, maka saya tidak begitu menghiraukan rasa sakit yang sebenarnya mengganggu aktivitas tersebut. Sampailah malam itu, selepas isya, saya merasakan pergelangan tangan saya senut-senut sakit. Yap, akhirnya saya minta izin keluar sebentar untuk membeli obat gosok atau apalah. Malam itu, sayapun tidur nyenyak dengan tempelan koyo di pergelangan tangan. ********************************************* TRING. Saya bangun dengan rasa nyeri masih terasa. Allahumma, ternyata koyo saja tak cukup untuk mengembalikan pergelangan tangan saya seperti semula! Saya ambilah itu obat gosok, membuka tutupnya yang ternyata aduhai sulit kalau menggunakan tangan kanan saya yang sedang ngambek itu, jadilah si tagan kiri yang saya korbankan untuk membukanya. H, bukankah sesama saudara memang harus saling membantu? Begitu pulalah si tangan kiri membantu saudarannya si tangan kanan. Seorang rekan menanyakan kondisi tangan kanan saya, saya bilang masih sakit. Lalu dia merekomendasikan untuk memeriksakan tangan saya ke dokter ortopedi di RSHS. Saya pikir agak berlebihan juga kalau harus ke dokter, tapi rekan saya itu meyakinkan saya untuk memastikan, sebenarnya rasa sakit itu asal-usulnya dari mana, otot atau tulangkah, jadi saya bisa cari alternatif pengobatannya. Hah. Saya menuruti saran tersebut. uncluk-uncluk saya pergi seorang diri ke rumah sakit. Kepala saya langsung pening ketika sampai di poli ortopedi. Mungkin memang sudah bawaan saya, setiap kali ke rumah sakit selalu pening, tapi mudah-mudahan tidak akan pingsan lagi. :) Ketika nama saya dipanggil, saya agak-agak deg-degan juga. Gila aja! Di depan saya duduk seorang dokter yang masih muda! Hush hush, bukan ketang saya deg-degan lantaran di situ duduk segerombolan mahasiswa kedokteran yang sedang co-ass. Huaaah, saya jadi bahan observasi mereka! Duh, malu-maluin aja ah! Dokter rupanya tidak memvonis apa-apa terhadap keluhan saya, baru sebatas kemungkinan... tapi resep obatnya aduhai banyaknya! Perasaan saya makin geli ketika dokter menyuruh saya masuk ke ruangan lain, katanya akan di-ban ini tangan. Giling (meminjam istilah seorang kawan untuk mengekspresikan sesuatu yang luar biasa)! Sakit gini doang pake di-ban segala! Lebay ah! Hehehe "Di-ban itu supaya tangan kamu istirahat dulu, gak banyak gerak." Ujar si dokter muda. Oho, baiklah-baiklah. Sepulang dari dokter, saya masih ketawa-ketiwi sendiri mengamati diri saya. Lebay ah, pakai bandage segala kayak sakit apaan aja! Ini lagi resep obat yang banyaknya bukan main... Hahahaha... Hoy, kawan-kawan tengokin dong! Becanda ding. Udah ah capek ketawa mulu. Saya cuma mau bilang, kalau tangan kamu kerasa sakit, ke rumah sakit aja biar dapet bandage juga kayak saya! Kan keren tu, pakai bandage! Trend 2011 lah yaaa... 2 November 2011