Pages

Monday, November 07, 2011

I Fell in Love with You the Moment I First Saw You

Hm, entah kenapa tiba-tiba saya ingin menuliskan tentang seseorang, seseorang yang membantu kita dalam mewarnai jalan-jalan kehidupan yang kita lewati. Mungkin kejadian di hari itu meninggalkan bekas di hati saya. Hari itu seperti biasa, kantor agak sepi namun aktivitasnya tetap saja crowded. Pada jam istirahat yang bertepatan dengan waktu dzuhur, saya dimintai tolong untuk menjagai Nafiz, putra salah seorang ibu pengurus yang belum genap berusia satu tahun. Nafiz saya gendong mengitari mushola, sementara umminya tengah shalat. Sejak terlepas dari rangkulan umminya, Nafiz terus menangis. Saya tentunya agak kewalahan juga lantaran tak terbiasa ngemong anak sekecil Nafiz. Sesekali, saya biarkan Nafiz merangkak. Ia memang sedang belajar merangkak. Tak disangka, ia merangkak kencang menuju umminya, menarik mukena yang digunakan umminya. Melihat kejadian itu, saya menggendong Nafiz kembali, berharap bisa membuat Nafiz tertidur. Nafiz berhenti menangis, saya pikir ia tidur tapi tak lama kemudian terdengar lagi suara tangis Nafiz. Duh dek ganteng, jagoan kesayangan ummi… sing sabar ya… umminya lagi shalat dulu. Dek Nafiz sabar yaaa… begitu terus saya membisikkan Nafiz. Nafiz tetap menangis sampai umminya selesai shalat. Ia saya biarkan merangkak. Saya mengamati Nafiz dari jauh ketika ia mulai mendekati umminya, menyentuh umminya, dan duduk di pangkuan umminya. Ia tidak lagi menangis, malah tersenyum-senyum. Sepertinya ia gembira sekali. I fell in love with you the moment I first saw you. ******************************************* Mungkin, dulu kita pun seperti itu: tak berdaya dan sangat bergantung. Iya, mungkin dahulu, tanpa kita sadari, kita begitu lekat dengan ibu kita sampai-sampai kita akan menangis sejadi-jadinya kalau dijauhkan darinya. Iya, dulu kita memang seperti itu, merasa tenang apabila ada ibu di sisi kita, merasa aman ketika ia merangkul kita, menggendong kita. Tanpa kita sadari, kita telah mulai membangun makna cinta, kita telah ‘jatuh cinta’ pada sosok yang selalu ada untuk kita tersebut. Sosok yang selalu terjaga sepanjang malam ketika kita tidur dengan gelisah atau untuk sekedar mengganti popok kita yang basah. Ialah ibu, yang telah menanamkan cinta, bahkan sebelum ia sendiri dapat melihat sosok kita. Ibu. Seseorang yang pertama kali memilihkan pakaian terbaik untuk kita, yang ketika kita beranjak dewasa tak lagi kita pedulikan pilihan-pilihan yang ia tawarkan untuk kita. Ibu, seseorang yang berhati-hati memilih makanan yang sesuai dengan perkembangan kita, yang ketika kita dewasa, kita lebih menyukai makanan yang dibuat oleh orang lain, yang tentunya tanpa bumbu cinta yang hanya dimiliki oleh ibu kita. Ialah ibu, seseorang yang membantu kita melangkah dan membantu kita bangkit ketika kita jatuh. Namun ketika usia kita beranjak, kita menganggap ibu terlalu ikut campur dengan masalah pribadi kita. Ialah ibu, yang selalu mengantar kita sekolah dan mengusap air mata ketika kita menangis lantaran diganggu teman. Kini, kita merasa itu semua tak pernah terjadi, bahkan tak jarang kita ragu untuk sekedar menyisihkan waktu untuk mendengarkan cerita hidupnya yang seringkali tak mudah. Karena kita tak pernah mengingat, bahwa ialah orang pertama yang kita cintai sebelum teman-teman atau pasangan hidup kita hadir. Karena kita enggan untuk mengasah hati kita untuk membaca perasaannya terhadap kita. Ialah orang yang cintanya selalu kita khianati dengan sederet alasan kesibukan kita, dengan alasan ibu terlalu rewel dan tak pernah mengerti apa yang kita mau, dengan alasan yang seringkali kita buat-buat. Kawan, ada pertanyaan yang selalu mengangganggu saya sebenarnya. Mengapa kita lebih mudah marah kepada ibu kita, dibanding marah terhadap teman yang justru lebih sering mengecewakan kita? Mengapa kita sulit untuk memaafkan kesalahan ibu kita, padahal di bawah kakinyalah syurga yang dijanjikan Allah itu ada? Bukankah selayaknya kitalah yang harus lebih sering meminta maaf padanya atas keacuhan dan keangkuhan yang kita lakukan? Keacuhan lantaran kesibukan kita, keangkuhan lantaran kondisi kita sekarang sudah lebih baik dan lebih mandiri sehingga menganggap kita tak lagi membutuhkan sesosok ibu? *************************************** Saya baru menyadari hal itu ketika melihat Nafiz. Dulupun kita seperti Nafiz, tak berdaya dan sangat bergantug pada ibu. Dulupun kita seperti Nafiz, memiliki perasaan aman terhadap ibu yang mungkin bisa diartikan sebagai perasaan cinta. Mom, I fell in love with you the moment I first saw you. Atau bahkan mungkin, perasaan cinta itu sudah tumbuh, bahkan ketika kita masih di dalam rahimnya karena kehangatan dan keamanan yang hanya dimiliki oleh sosok bernama ibu. Seperti kalimat yang saya kutip dari savage Garden berikut ini, I knew I love you before I met you. 10 Dzulhijjah 1432 H.

1 comment:

  1. Apa itu? smiley lagi cz u don't have any words to say? hehe

    ReplyDelete