Pages

Monday, April 25, 2011

Senyum Bapak

Liburan yang hanya tiga hari ini tadinya akan kugunakan untuk berdiam di kosan, melakukan beberapa pekerjaan domestik yang selama ini tertunda. Kau taulah, pekerjaan itu macam mencuci baju yang ternyata sangat banyak, membereskan kamar yang ternyata ampun-ampunan berantakannya, juga kuharap bisa menggarap laporan PLAku yang sama sekali belum tersentuh. Namun, obrolan bersama seorang kawan di sms itu membuatku berubah pikiran. Aku ingin pulang saja. Maka, segera kutuntaskan pekerjaan domestikku. Lalu bergegas ke Tamansari mengunjungi Yulan, kakakku, membawa beberapa barangnya yang akan disimpankan di rumah. Namun, seberapapun besarnya keinginanku untuk pulang, aku tetap tak bisa pulang hari itu juga. Aku akan pulang besok, pagi-pagi.

Perjalanan pulang kali ini rasanya memang tak begitu jauh berbeda dengan perjalan pulang sebelumnya, satu bulan tiga pekan yang lalu. Namun bagiku, pasti akan terasa berbeda, terutama setelah turun dari bis di terminal nanti. Aku yang biasanya akan naik becak atau angkot 04, maka kali ini akan naik angkot yang berwarna biru, ke arah Jatibarang, melewati rute yang berbeda dari biasanya. Dan aku masih tak hapal jalan ke rumahku yang baru. Hehe…

Alhamdulillaah, aku nggak nyasar. Untung Mamah meng-sms alamatnya. Aku sampai. Ada tetangga-tetangga baruku yang duduk-duduk di warungnya Mak Yati, kusapai salam. Mak Dijah dan suaminya heboh, begitupun Mak Yati dan Mang Caram.
“Wah, wong Bandung teka kinih!”1 teriak mereka. Aku hanya nyengir. Ah, aku ingin segera sampai rumah!

***

Setelah mengoceh sana-sini dengan Mamah, Bapak, dan Dede, tibalah saatnya obrolan yang serius itu. Mamah menanyakan kapan aku wisuda. Aku minta maaf karena masih ngetem di bab dua. Kata Mamah nggak apa-apa, daripada aku stress kalau diburu-buru. Kujanjikan tahun ini aku lulus. Janji. Ya Allah, mudah-mudahan bukan janji saja yang kuberikan pada Mamah. Mamah masih membelai kepalaku sambil duduk-duduk di dekat pintu rumah.

Bapak asyik menonton tv. Kesukaan barunya adalah nonton FTV. Aku duduk menemani. Bapak menatapku. Matanya mulai berair, kuduga akan menangis seperti biasa. Benar, Bapak menangis. Mungkin karena terlalu senang melihatku lagi. Semenjak aku datang beberapa jam lalu, Bapak menangis. Bapak mengusap air matanya dan mulai mengajakku bicara. Aku makin tak mengerti ucapan Bapak. Bapak ternyata menanyakan kelulusanku. Mamah yang menjawab, maksudnya untuk menengahi, agar Bapakpun tidak terlalu menanggapinya secara emosional. Bapak mengangguk lalu air matanya mulai keluar lagi. Bapak tidak marah, Bapak sudah lama tidak marah. Tapi mungkin juga ada sedih di hatinya, tapi Bapak tak banyak bicara, hanya melanjutkan menonton FTV. Ah, aku jadi merasa tak enak pada Bapak. Harusnya aku bisa segera lulus agar bisa membantu Bapak.

***

Aku jadi ingat tahun-tahun yang lalu. Waktu itu Bapak masih sehat. Aku kelas tiga SMA. Prestasi akademikku tak begitu baik ketika SMA, seleksi awal program Super Motivasi aku tak lolos bahkan try out ujian nasionalpun tak lulus. Aku takut pulang ketika itu, aku malah nimbrung membantu teman-teman pelajar muslim menyiapkan acara dan baru pulang ke rumah sore hari. Ternyata Bapak sudah pulang, bahkan sedang duduk di ruang tamu bersama Mamah yang baru kembali dari sekolah mengambil hasil try out ku yang kacau itu. Tapi Bapak diam, mungkin marah. Dan Mamah hanya bertanya aku mau jadi apa ketika melihat pencapaian akademikku.

Aku ikut PMDK UPI. Entah karena apa, yang aku ingat malam itu aku tiba-tiba bilang ke orangtuaku kalau aku ingin mencoba PMDK UPI saja, memilih Psikologi. Sebagai orangtua, Mamah dan Bapak mengizinkan saja. Jadilah aku mengurusi semua syarat PMDK, yang sejujurnya kuakui tidak terlalu PD kuikuti melihat track record akademikku yang aduhai sangat rata-rata. Yang kubanggakan cuma nilai Bahasa Inggris, TOEIC, TOEFL, dan beberapa sertifikat aktivitasku saja. Bismillaahittawakkaltu ‘alallaah saja lah.

Beberapa bulan kemudian, ada pengumuman PMDK UPI. Waktu itu, aku mulai berharap. Gimana tidak berharap, aku sudah membuang jauh-jauh bayangan SNMPTN yang tak akan sanggup kulalui. Maka harapanku ya hanya PMDK ini, terlebih aku memang tak seperti teman-temanku yang ikut ujian masuk di PTN ini-itu.

Aku yang sudah jarang ke sekolah terpaksa ikut heboh bersama si Mamah yang tak sabar mengajakkku mengecek pengumuman itu di warnet. Kuturuti saja, akupun sama penasarannya, padahal besokpun di sekolah akan diumumkan. Tapi Mamah ingin jadi orang pertama yang tahu. Mamah langsung sujud syukur aku dapat PMDK, akupun ikut sujud di bilik warnet yang sempit itu. Sore itu, aku membawa kabar bahagia buat Bapak. Setidaknya, aku sudah membuat Bapak bahagia dengan diterimanya aku di PTN, mengikuti jejak kakak-kakakku yang lain.

Hari-hari selanjutnya kulalui dengan sukacita. Aku merasa beruntung. Aku benar-benar beruntung, akhirnya akan menyandang status sebagai mahasiswa, sama dengan teman-temanku yang otaknya encer-encer itu. Mendekati hari-hari registrasi, hatiku ketar-ketir juga. Tak ada isyarat apa-apa dari kedua orangtuaku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah cita-citaku hanya sampai di sini saja? Di dalam hati, aku ingin seperti kakak-kakakku yang lain, menempuh pendidikan tinggi.

Sampai hari itu, hari terakhir pengiriman biaya registrasi. Hari itu aku ke sekolah, menandatangani surat-surat kelulusan. Aku tertekan, sementara teman-teman sibuk mengobrol cita-cita mereka. Aku hanya diam saja di belakang sekolah, menahan-nahan untuk tidak menangis. Akhirnya aku meluapkan semua tangisku di hadapan Kak Rotib, pelatih Pramuka-ku ketika SMP. Ia kebetulan ke sekolahku untuk mengambil seragam-seragam SMA yang tidak kupakai lagi untuk disumbangkan ke teman-teman yang tidak mampu membeli seragam.

Siangnya, di rumah, aku hanya berdiam diri di kamar. Menangis lagi. rasanya tak enak sekali ketika kita telah sangat dekat dengan apa yang kita impikan, tapi ternyata tak akan bisa mencapainya.

Hampir Ashar, kudengar suara mesin motor Bapak. Bapak pulag, tak biasanya Bapak pulang jam segini. Aku tidak keluar untuk menyambutnya, aku tetap di kamar pura-pura tidur. Suara bapak terdengar.

“Mah, tolong catetin nomer rekening yang buat bayaran kuliahnya Intan ya!”
“Lho? Biar Mamah aja yang ke bank, Pak.” Sahut Mamah.
“Nggak, biar Bapak aja yang masukin uang kuliahnya Intan. Sekalian ketemu temen-temen lama…” aku tak melihat ekspresi Bapak kala itu, tapi tampaknya Bapak senang sekali. Selepas kepergian Bapak ke bank, aku keluar kamar. Mamah menghampiri.

“Bapak tuh seneng banget Tan, dapet uang hari ini. Malah sampe ngotot pengen Bapak aja yang pergi ke bank. Bapak pengen nunjukkin ke temen-temen lamanya di bank kalau anak Bapak ada yang mau kuliah lagi. Ya begitulah Bapakmu, pengen mamerin anak-anaknnya bisa kuliah…” Mamah tersenyum. Aku ingin menangis lagi, menangis karena merasa bersalah pada Bapak. Aku suudzon beberapa hari ini, padahal Bapak susah payah cari uang agar aku bisa kuliah, dan ikhtiar Bapak baru dijawab Allah di hari terakhir pendaftaran. Duh, aku ingin Bapak cepat-cepat pulang agar bisa kupeluk dan kumintai maaf.

***

Bapak, aku ingin melihat senyum bangga Bapak padaku lagi seperti hari itu, hari yang senyum banggamu itu kulewati. Kuharap Bapak mau menungguku sebentar lagi saja…



Untuk Bapak, yang selalu percaya kalau aku pintar, tak pernah remedial. Padahal aku berkali-kali remedial. Untuk Bapak yang menggendongku setiap aku ketiduran saat menonton tv. Untuk Bapak yang memberiku boneka tanpa bulu dan aku merengek minta dibelikan boneka yang berbulu. Untuk Bapak yang membuatkan kolam ikan. Untuk Bapak yang masakannya selalu membuatku penasaran. Bapak, aku kangen jalan-jalan sama Bapak.





~24 April 2011

2 comments: