Pages

Saturday, April 02, 2011

Di Lapak Sepatu Itu

Kawan, dulu, ada sebuah pasar di tengah kota Indramayu. Semacam pasar induk, karena di sana dijual beragam barang, mulai dari kebutuhan pokok rumah tangga, pakaian, sepatu dan lain-lain. Semua berderet beriringan. Semua pedagang memiliki bangunan dengan konstruk yang sama, lapak-lapak yang dibatasi dan ditutup oleh lembaran terpal berwarna-warni. Saya masih ingat itu. Well, memang tak banyak yang saya ingat dari keberadaan pasar yang kami sebut Pasar Mambo itu. Saya masih sangat belia waktu itu, hm… belum jua masuk taman kanak-kanak.

Suatu hari, Mamah berniat membelikan kakak saya sepatu sekolah. Saya yang saat itu masih kecil tentu saja mendapat keistimewaan tersendiri untuk ikut. Senang sekali. Sesampai di pasar, kami mendatangi salah satu lapak yang menjual sepatu. Sepatu-sepatu itu tersusun rapi, berjejer, ada pula yang digantungkan. Yang jelas, saat itu saya mengaggapnya sebagai sesuatu yang sungguh luar biasa! Well, jika kau belajar Psikologi, kawan, mungkin kau dapat mengidentifikasi permasalahan yang selanjutnya muncul.

Saya bertanya ini-itu. Terpesona pada sepatu-sepatu yang dipajang. Saya berharap Mamah membelikan satu untuk saya. Dalam jangka waktu yang cukup lama saya memelototi beraneka sepatu yang ada sampai akhirnya saya bosan dan memperhatikan Mamah memilihkan sepatu untuk Yayu. Saya mulai membuat sedikit keonaran; menarik-narik baju Mamah, menunjuk ke sana-sini, merajuk. Namun tak digubris. Mamah masih asyik memilihkan sepatu untuk Yayu.

Rasa bosan itu memuncak dan saya kesal dengan keadaan itu. Kau tahu apa yang kulakukan selanjutnya kawan? Begini. Biar kugambarkan dulu situasi lapak sepatu itu. Lapak itu berukuran tak kurang dari dua kali dua meter, di tiga sisi ‘dinding’nya dijejeri sepatu. Ada bangku plastik yang digunakan pemilik lapak untuk duduk menunggui barang dagangannya. Seperti itulah. Maka, ketika kubaca gerakan Mamah yang tampak kelelahan dan akan duduk, saya seret sedikit kursi itu. Seketika Mamah jatuh terduduk. Sontak semua menoleh. Mamah bergegas bangun. Saya memasang muka seolah tidak tahu apa-apa.

“Duh, Bu…. Enggak kenapa-kenapa, kan? Ibu lagi hamil?”

Deg. Pertanyaan pedagang sepatu itu membuat saya kaget. Saya memang belum mengerti apa itu hamil, tapi saya tahu kejadian ini mungkin berakibat buruk. Sungguh, saya hanya ingin Mamah menengok sekali saja pada saya waktu itu, tidak. Bukan. Saya ingin Mamah memperhatikan saya bukan kakak saya. Itu masalahnya.

Well, sampai sekarang, kejadian itu masih terekam dalam memori saya. Saya memperlakukan Mamah dengan cara yang tidak baik. Mamah memang sedang tidak hamil saat itu, namun perasaan bersalah itu masih membekas. Mungkin Mamah sudah tidak ingat, tapi bagi saya, kejadian di lapak sepatu itu menyisakan sesuatu yang membekas, sesuatu yang mungkin tidak bisa saya maafkan.



25 Januari 2011

2 comments: