Pages

Wednesday, January 19, 2011

Teringat Akan Ci

Bangun pagi hari itu sebenarnya sungguh menyiksa saya. Kau tahu kawan, beberapa hari belakangan, saya baru dapat mengizinkan mata saya terpejam seutuhnya selepas tengah malam. Seperti tadi malam, teman-teman kurcaci saya membuat suatu agenda berkumpul, ada sedikit buah tangan dari Pebi dan Fauzia: tekwan dan bakpia, perpaduan yang bagi saya tidak terlalu menarik setelah sore itu saya makan cukup banyak bersama kakak saya, Yulan. Namun nyatanya sayapun ikut larut. Mungkin beginilah keindahan tinggal di perantauan dan bertemu mereka. Maka kami yang lama disibukkan oleh aktivitas masing-masing malam itu asyik berbincang, berkelakar, tertawa, bermain dan sungguh menjadi siksaan bagi saya di pagi hari. Kau tahu, masuk angin. Mudah sekali bagi saya masuk angin meskipun saya telah menghabiskan minak kayu putih di sekujur tubuh saya. Dan lagi, kantung mata ini rasanya berat. Berat. Mengingat hari ini saya masih harus ke kampus, mengingat pakaian yang belum saya setrika, mengingat jumlah kaus kaki yang makin terbatas dan setumpuk baju yang sudah layak dicuci. Berat, atau lebih tepatnya sangat malas.

Hujan di luar kamar Ita masih menggelayut, rintik-rintik memang, namun tetap saja membuat saya bertahan di kamar Ita. Bukan kawan, seandainya pun telah kukatakan padamu dulu bahwa saya sudah tidak lagi memiliki payung, namun bukan karena itu saya bertahan. Lebih semacam penangguhan: biar saja hujan menunaikan kewajibannya terlebih dulu, saya tidak akan mengganggu sampai dia benar-benar selesai. Mungkin seperti itu. Atau lebih tepatnya, saya memang sedang tidak ingin berbuat apa-apa.

Fauzia menghidupkan televisi. Itu yang selalu menjadi aktivitasnya di agi hari kalau kami semua bermalam bersama, baik di tempat Devi, Ita, Yanggi, atau Pebi. Karena sesungguhnya, bagi saya da Fauzia, itu kesempatan kami melihat dunia atau sekedar menikmati tayangan iklan yang menawarkan beraneka ragam produk baru yang tidak kami tahu. Atau sekedar mengamati perjalanan kasus Gayus Tambunan atau bahkan menikmati kabar-kabar selebritis yang menurut kami melempem. Fauzia asyik dengan kesibukan mencari channel yang menarik. Ia kemudian jatuh hati pada salah satu stasiun televisi yang menyajikan berita hangat-hangat. Hangat, karena beritanya terkadang sudah ditayangkan semalam, sehari, atau sekedar pemberitaan yang didramatis-dramatiskan.

Seorang TKW asal Indramayu tewas.

Sepenggal kalimat dari kotak ajaib yang menampilkan perpaduan gambar bergerak dan suara itu menghantam kepala saya. Synaps di dalamnya menyala-nyala, menjulur-julur, tak sabar ingin segera mendapatkan respon dari sistem kognisi saya. Juntaian synaps ini rupanya memaksa otot-otot mata saya diatur otak. Tidak, tangan saya belum sampai dikunjungi kiriman perintah dari otak untuk mengucek-ucek mata. Mata saya hanya memelototi tampilan di layar kaca. Telinga saya kontan melebarkan daunnya, menangkap suara-suara tertata anchor. Jantung saya berdegup melebihi degupnya ketika saya baru bangun beberapa saat lalu. Sontak, saya ingin menangis.

Anchor terus memaparkan berita dan saya masih dalam kondisi tadi. Mendengar nama TKW itu cukup menambah-nambah beban hati saya, melayangkan pikiran saya pada masa yang tak pernah coba saya lupa, membawa serangkaian prasangka.

Kawan, sudahkan kuceritakan padamu kisah itu? Seandainya belum, maka mungkin saya harus berbagi. Sewaktu masih berseragam putih-abu, saya memiliki seorang kawan. Tiga tahun kami berteman, satu kelas meski tak pernah satu meja. Ia menempuh perjalanan yang jauh untuk sampai di sekolah. Tiga perempat jarak Cirebon-Indramayu. Kau bayangkan, ia berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Saya pasti masih tidur saat itu. Ia lakukan perjalanan itu setiap hari. Di kelas tiga, ia harus berangkat lebih pagi lagi karena ada satu hari di mana kami telah memulai pelajaran pada jam lima tiga puluh.

Pandai bergaul. Itu yang saya tangkap dari tingkah lakunya selama ini. memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka sekali bertanya. Tidak mudah sakit hati, mungkin itu yang membuatnya tampak easy going. Ia membawa sekotak makanan untuk dijual. Mudah baginya menyerap pelajaran, ketika merasa kesulitan ia tak ragu bertanya pada siapa saja. Bukan juga orang yang gagap teknologi. Ia justru antusias sekali pada satu hal ini.
Waktu kelas tiga itu, satu sekolah kami mengikuti seleksi masuk program Learning Camp, program Super Motivasi yang digulirkan pemerintah untuk menjaring putra-putra terbaik daerah saya. Mereka akan mengikuti serangkaian seleksi, try out setiap Sabtu dan pembahasan try out di hari Minggu. Serangkaian seleksi itu akan menghasilkan tiga puluh putra terbaik yang layak mengikuti bimbingan belejar intensif di Bandung yang disebut Learning Camp selama sebulan, saya lebih suka menyebutnya persiapan menghadapi ujian masuk PTN. Ajang ini bergengsi kawan, kalau kau mau tahu. Mereka yang lolos masuk PTN akan mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah selama masa kuliah. Ini sangat menggiurkan bagi siswa kelas tiga SMA. Siapa yang tidak terrtarik dengan janji pemerintah ini?

Mungkin saya. Saya bahkan tidak lolos pada seleksi tahap pertama yang diikuti oleh ribuan siswa itu. Bagi saya tidak masalah, karena saya tidak begitu menyukai ilmu yang berkaitan dengan kemampuan matematis, mekanistis. Hampir sekelas kawan saya lolos, termasuk kawan saya itu. Oya, kita belum membahas siapa namanya. Saya ragu untuk mengatakannya padamu, kawan. Mungkin begini, kita sebut saja namanya Ci. Ci lolos pada seleksi pertama dan seleksi lanjutan, beberapa kali ia ikut try out. Sampai pada try out terakhir, ia tampak tak antusias. Bahkan tidak mengikutinya. Seleski tahap akhir, kawan!

“Ci nggak diizinin iku, Ntan.” Ujarnya. Permasalahan klasik. Seorang anak dari keluarga kurang mampu yang memiliki minat luar biasa pada ilmu, dihadapkan pada suatu pilihan yang rumit. Setidaknya rumit menurut saya waktu itu. Maka di sanalah Ci, turut dalam barisan siswa yang dinyatakan tidak lolos, padahal prestasinya cukup baik selama seleksi. Satu mimpinya tergadaikan: menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Di lain waktu, menjelang ujian akhir. Ci duduk sendiri, melamun. Ini bukan kebiasaan dia. Kalau saya boleh bilang, ia hampir selalu bersama kawan baiknya, kemana-mana. Mungkin saat itu ia hanya ingin rehat sejenak, seperti yang kadang saya lakukan. Namun itu menggelitik saya.

“Ci belum bayaran, Ntan. Sebentar lagi ujian.” Ia menahan untuk tidak menangis. Di tahun sepanjang saya sekolah, uang SPP untuk kelas kami sudah mencapai angka seratusribuan. Tempatkan dirimu pada posisi Ci, kawan. Saya ikut bingung dan malah menceritakan permasalahan saya yang kurang lebiih sama seperti Ci. Kami menangis bersama dan berjanji masalah ini tidak akan menghambat semangat kami.

Menjelang kelulusan, saya semakin jarang mendengar kabar tentang Ci. Sampai satu kabar mampir pada saya, Ci di Jakarta. Sudah di penampungan, belajar. Kata penampungan sesungguhnya tidak asing bagi kami masyarakat Indramayu, namun kata itu sanggup membuat saya bertanya-tanya: untuk apa kawan saya di sana? Belajar apa? Apakah… saya tidak mau memikirkan apa-apa karena pada kenyataannya, pikiran saya benar, Ci akan menjadi TKW kalau memang terlalu kasar untuk mengatakan PRT di luar negeri. Lihat, siswa kelas paling yahud di sekolah, kawan saya, siswa yang tinggal dipoles sedikit saja, dan diberi kesempatan sedikit saja untuk menancapkan mimpinya, harus mengalami nasib yang sama seperti ratusan perempuan Indramayu, menjadi TKW.

“Di Oman, Ntan…” begitu saja ia bercerita, tanpa beban.

Belum genap setahun setelah keberangkatan Ci. Saya sudah di Bandung, hampir menginjak akhir semester dua saat kawan saya itu menghubungi lewat email. Pilu, itu yang saya tangkap dari pesannya. Ia mengalami apa yang disebut sebagai TKW yang kurang beruntung, begitu saya menyimpulkannya. Ia bersikeras ingin pulang, meminta tolong pada saya untuk mencarikan solusi. Solusi yang tidak tahu harus saya cari di mana. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kami kehilangan kontak. Beberapa tahun.

Aroma Ci saya tangkap kembali. Ia muncul begitu saja di situs jejaring sosial, itu kali kedua ia ada di Oman. Ruapanya, sempat pulang juga ke tanah air. Kutarik arti semua ini: ia dalam kondisi baik-baik saja.

Beberapa malam lalu, ketika saya menghabiskan beberapa saat di warnet, saya menemukan sapanya pada wall saya. Beberapa malam lalu, sebelum pagi ini saya mendengar kabar di televisi itu. Mereka memiliki nama yang sama, asal daerah yang sama, Indramayu. Dan itu cukup menjadi beberpa alasan bagi saya untuk merasa khawatir.

Saya tidak berharap buruk sebenarnya. Jantung saya kembali pulih. Mata saya tidak lagi memaksimalkan otot-ototnya bekerja. Entah, saya menghempaskan nafas lega. Mensyukuri kondisi kawan saya Ci. Bukan berarti mensyukuri kepergian orang yang namanya sama seperti Ci, bukan mensyukuri. Namun cukuplah bagi saya untuk merasa tenang, kawan saya baik-baik saja. Saya hanya terjebak, terjebak pada novel yang sedang saya baca, novel yang juga memaparkan kepedihan nasib seorang TKW di tanah Arab, terjebak pada kesamaan, terjebak pada suatu kondisi kesadaran diri yang belum lengkap.

Saya hanya bisa memelihara harapan, semoga Allah melindungi kawan saya. Kawan dari kawan saya itu, kawan dari kawannya kawan saya yang tengah menjalani satu bagian takdir menjadi tenaga kerja di luar negeri sana.
Pagi itu, saya telah siap melakukan aktivitas, seperti hari-hari sebelumnya.

19 Januari 2011
Riau 1

6 comments: